Aku antara Kelahiran dan Kematian

Berbicara dengan kematian rasanya bikin merinding sendiri. Namun kita semua sama tahu bahwa kematian sungguh nyata adanya. Kematian adalah kepastian. Apapun yang kita lakukan di dunia, sebanyak apapun harta kepemilikan kita, secantik apapun kita bersolek, sebanyak apapun pengetahuan kita, pada akhirnya semua berakhir di titik akhir, kematian. Bukankah keniscayaan adalah hal yang membuat kita tenang dan berpasrah akan sebuah akhir?

Rupanya tidak semudah itu memahami dan menerima kehadiran mati. Buktinya setiap kali ia datang di depan mata kita, tetaplah merinding datang menggerayangi bulu kuduk. Tetaplah air mata menggenang dan mengalir di pipi. Tetaplah pelukan menjadi hangat dan ratapan tersedak di ujung tenggorokan. Tetaplah bayang-bayang kehilangan mengakibatkan rasa terpuruk. Lebih-lebih saat malam datang dan para pelayat sudah berangsur pulang.

Di Bulan Ramadhan ini, setiap kejadian menjadi penuh arti. Tak terkecuali kematian. Sudah banyak tersiar bahwa kematian di bulan ini menunjukkan kelebihan sang jenazah. Sebanyak apapun kesalahan dan kekhilafan yang ia perbuat, rasanya manusia takkan kuasa bahkan sekadar mengingat itu. Karena telah terkalahkan oleh keistimewaan bulan mulia ini. Bahkan dalam satu riwayat diceritakan, jika dalam bulan Ramadhan para setan dibelenggu. Dan siksa kubur pun diangkat, dalam kata lain dihentikan untuk sementara.

Tak hanya kematian, kita juga sangat dekat dengan kelahiran. Diceritakan dalam sebuah riwayat tentang kisah Nabi Ibrahim. Ketika berhadapan dengan Raja Namrud. Nabi Ibrahim berkata bahwa Tuhan yang beliau sembah adalah Tuhan yang Maha Menghidupkan dan Mematikan. Raja Namrud yang menobatkan diri sebagai Tuhan tak mau kalah. Ia membantah Nabi Ibrahim seraya memanggil dua tahanan dari penjara. Kepada pengawal ia perintahkan membebaskan satu di antara tahanan tersebut, dan kepada satu lagi sisanya membunuhnya.

Tentu saja Nabi Ibrahim hanya tersenyum. Di dalam pengertian Raja Namrud rupanya kehidupan sekadar melepaskan seorang tahanan yang bahkan ia sama sekali tak berhak atas nyawa dan ajal tahanan tersebut. Sedangkan Allah, Tuhan beliau adalah Tuhan dari seisi alam. Ialah Allah Maha Berkuasa atas segala hal. Allah menciptakan segala sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Dan Allah pula yang menjadikan segala sesuatu mati atau hilang.

Seperti halnya kematian, dalam Bulan Ramadhan kehidupan pun memiliki tempat khusus di hati para manusia. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, bahwa Allah pernah berfirman dalam hadits qudsi yang berbunyi : Bulan Rajab adalah bulanku (Allah), bulan Sya’ban adalah bulan Rasulku, dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku. Bahkan Allah langsung yang memberi legitimasi kepemilikan bulan ini kepada kita. Lalu masihkah kita tidak menghargainya dengan berbahagia. Masihkah kita tidak mengisinya dengan kegiatan berarti. Selain hanya menunggu ajal tiba.

Membincang kelahiran dan kematian bagaikan membicarakan utuh dari isi dunia yang terus berputar. Merenda waktu dengan para pemain yang silih berganti berdatangan di muka bumi. Bukankah dalam satu detik yang bersamaan sangat memungkinkan terjadi dua hal tersebut. Di belahan benua ini terjadi satu kelahiran. Pun di seberang sana juga terjadi satu kematian. Begitu seterusnya. Terjadi setiap waktu, terus berulang dan terulang. Tanpa jeda dan tanpa sisa. Terkadang menyisakan luka dan air mata. Terkadang pula mengundang tawa dan bahagia. Hidup memang hanyalah sebatas jarak antara kelahiran dan kematian. Sebagaimana keberadaanku di detik ini. Apakah sisa waktu yang kita miliki sebanding dengan waktu penantian seorang ibu yang tengah mengandung? Ataukah dengan seorang ibu hamil tersebut masih di usia balita. Wallahu A’lam. Di bulan mulia ini, mari kita berdoa kejadian terbaik turun di waktu terbaik seperti saat ini. Aaamiin.

#BERSEMADI_HARIKE-3
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya

Komentar

Postingan Populer