Review Mantra Asmara (Usman Arrumy)
Cinta
adalah suatu anugerah abstrak yang dikaruniakan Tuhan kepada seluruh
makhluk-Nya yang bernafas, makhluk hidup, meskipun yang tak berakal sekalipun.
Dan puisi adalah sebuah bahasa, ungkapan rasa, alat komunikasi, yang memilki
nilai lebih pada sisi keindahan. Bagi mereka yang menggemari dunia perpuisian,
semakin abstrak puisi itu, akan dianggap semakin indah, semakin rumit
diterjemahkan puisi itu, maka semakin bernilai lebih bagi mereka. Akan tetapi
tetaplah sebagai bahasa, alat komunikasi, maka semakin komunikatif puisi
tersebut, maka itulah yang lebih baik.
Usman
Arrumy, seorang manusia biasa, yang memiliki hati dan nurani pula, sedang
bertaburan cinta mungkin? Iya, entah pernah, sedang, ataupun akan, semua
manusia mengalami itu. Bagi Arrumy, puisi adalah bahasa paling tepat dalam
menyuarakan bisikan hati nuraninya yang bergelimang asmara. Dan cinta sebagai
anugerah suci nan mulia maka menjadi sangat berharga dan istimewa segala
sesuatu yang berkaitan dengannya. Mulai dari pelakunya, sasarannya, bahasanya,
kisahnya, hingga benda-benda kecil yang menjadi kenangan dalam perjalanannya.
Oleh karena itu lahirlah judul MA bagi 70 puisi pilihan Arrumy yang dalam
kelahirannya mengalami proses sangat panjang dan berliku ini.
Jika
seorang awam disuguhi buku ini, tanpa terlebih dahulu mengenal secara pribadi
pada Arrumy, mengenali jenis tulisannya, dan memahami alur kisah hidupnya, maka
dengan membaca MA ini akan tergelitik dan menebak-nebak apa yang sesungguhnya
ingin disampaikan Arrumy melalui 70 puisi ini dari lubuk hatinya. Tanpa pula
membaca antologi puisi Arrumy sebelumnya, seperti Qutub Cinta ataupun lainnya.
Oleh karena itu dalam hal ini saya posisikan saya sebagai orang awam tersebut,
supaya dalam menguraikan hal ini tidak terjadi subyektifitas.
Himpunan
kertas berukuran 13 x 19 cm yang berjumlah 146 halaman ini boleh dikatakan
sebagai kamus hati, atau lebih tepatnya kamus cinta. Tentunya tidak secara
keseluruhan, hanya sebagian. Karena dalam seluruh rangkaian kehidupan, kisah
yang tertuang dalam 70 puisi disini hanyalah sebagian kecil yang sialnya
disetujui dan disepakati oleh para pembaca. Dari situlah saya berani memberi
nama kamus, bukankah kamus itu sebuah patokan yang dipercaya orang secara umum
mampu memberikan definisi bahasa tertentu dan menjawab pertanyaan-pertanyaan pada
otak manusia?
Dari
ke-70 puisi yang dipilih Arrumy dalam MA ini semuanya tidak tercantum hari,
tanggal ataupun tahun penciptaannya, lalu apakah kita sebagai pembaca akan
mengiyakannya jika saja suatu saat Arrumy menyatakan bahwa puisi-puisi ini ia
tulis saat ia berusia 7 tahun? Tentu tidak? Lalu tidak ingatkah kalian jika
seorang seniman seringkali berbuat sesuatu yang di luar akal kita manusia
biasa? Sekali lagi saya tekankan, seniman atau penyair hanyalah manusia biasa,
bukan nabi, bukan wali, mereka mungkin memiliki kemampuan lebih dalam memainkan
bahasa dan aksara, memiliki rekaman lebih banyak tentang diksi dan definisi,
memiliki lebih rumit pola pikir dan olah rasa, akan tetapi di luar semua, ia
juga manusia bermata dua sebagaimana kita semua.
Kembali
pada isi MA, saya sepakat dari 70 puisi ini memang diurutkan sesuai abjad,
mulai dari Angin hingga Zieisme, namun entah disadari atau tidak oleh Arrumy,
urutan ini secara tidak langsung akan menggiring pola pikir pembaca untuk
merangkai makna yang mereka tangkap dari runtutan ini, tentunya bagi mereka
yang membacanya runtut, karena tak jarang pula pembaca yang membacanya sesuka
hatinya, entah dari memilih judul-judul yang baginya baru dan unik, atau asal
membuka dengan acak lalu halaman yang terbuka itulah yang ia baca terlebih
dulu, namun sekali lagi, jika kita membacanya urut sesuai yang tersaji pada
daftar isi, maka akan membentuk sebuah rangkaian kisah tersendiri yang
disimpulkan pembaca. Karena buktinya pada antologi Arrumy sebelumnya, Qutub
Cinta, puisi-puisinya tidak terurut sesuai abjad, tentunya hal ini di luar
masalah teknis oleh pihak editor atau penerbit.
Bahasa
Arrumy yang lugas dalam berpuisi, memberi nilai lebih dalam kemampuannya bertutur
melalui jenis seni yang satu ini. Karena puisi adalah kebebasan, maka sebagai
penyair muda, ia merasa seluruh isi hatinya akan dengan indah dan sempurna
tercurahkan melalui puisi ini. Bagi mereka para pembaca setia tulisan demi
tulisan goresan tangan dan tarian jari milik Arrumy akan lebih mudah mengenali
gaya bahasa pria asal jawa tengah yang satu ini. Sederhana, ringan, dan indah,
membuat puisi-puisinya cukup mudah dipahami, terlebih bagi mereka yang tengah
jatuh cinta atau juga putus cinta, karena dari 70 puisi di MA ini kesemuanya
menafsirkan akan hal itu.
Pilihan
judul dengan diksi baru membuat pembaca bertanya-tanya dan penasaran, seperti
apakah isi puisi itu jika judulnya demikian. Semisal ‘Fosforisma’ siapa yang
akan menyangka jika kata itu diambilnya dari baris pertama isinya, tanpa
mewadahi seluruh isi dan makna puisi itu, tapi justru disitulah nilai
pemaknaannya. Semisal lagi pada judul ‘Kwatrin Strainme’ dan ‘Kwatrin
Tsuroysme’ dan beberapa judul lainnya, yang apakah dalam isi puisinya terdapat
kata itu? Tentu tidak harus. Bahkan sebagian besar puisinya tidak mengandung
judulnya secara gamblang tertera. Oleh karena itu dalam membaca puisi, tak
cukup sekedar sekali membaca akan mampu menerka dan menangkap maksud dan isi
dari penyairnya, karena untuk melahirkan satu judul bagi seorang penyair adalah
sebuah perjuangan tersendiri. Bahkan Arrumy pada antologi sebelumnya telah
menaruh puisi berjudul ‘Yin-Yang’ akan tetapi isi yang dia jabarkan berbeda.
Pada ‘Yin-Yang’ di MA ini ia lebih berani menggunakan keterbukaan bahasa,
istilahnya dlomirnya telah di-dlohir-kan.
Saya
takkan berbicara banyak tentang maksud isi dari puisi-puisi di dalam MA ini,
karena saya khawatir subjektifitas saya akan muncul dan mendominasi penilaian
saya, saya hanya akan memberi beberapa kalimat kesimpulan tentang cinta. Cinta
adalah perasaan yang suci dan mulia, semakin rapi dia dijaga, semakin subur dia
tumbuh, dan cinta yang telah tumbuh subur dan berbalas akan semakin dalam dia
terjaga dalam lubuk hati, sehingga untuk menumpasnya takkan sanggup dengan
sekali tebas, baik melalui perkataan maupun perbuatan paling kejam pun. Karena
jika cinta telah mencapai lapisan hati paling dasar, apa yang mampu
menghapusnya, membersihkannya, menyingkirkannya? Selain takdir Tuhan? Cinta
akan hadir sebagai kekuatan, banyak hal positif akan lahir karena adanya cinta,
namun cinta juga mampu menjadi penyulut kehancuran, jika akal dan hati tak
mampu terkendalikan dengan baik, maka cinta justru menjadi penyebab kegagalan
hidup seseorang. Dan cinta yang tulus, sekali lagi, tidak menunggu balasan,
imbalan, dan sebagainya. Karena hanya dengan dirasakannya cinta itu, telah
merupakan anugerah terindah pada hati manusia.
Jika
kita telaah melalui judul, hanya 6 dari 70 judul puisi pada MA yang secara
gamblang merujukkan makna puisi pada obyek tertentu, lalu adakah dari pembaca
awam mampu menafsirkan dengan sempurna makna puisi-puisi cinta tersebut?
Bermula dari Angin I, Arrumy terlebih dahulu memberikan nafas awal pada pembaca
tentang apakah makna cinta, bagaimana hakikatnya, dan bentuk kemurniannya. Akan
tetapi jika kita globalkan secara keseluruhan 70 puisi ini ia dedikasikan
kepada seseorang, entah manusia, entah wanita, entah yang ia cinta, entah yang
ia tak bisa berpaling darinya, maka itu sudah tentu salah besar. Karena pada MA
ini, Arrumy ingin memberikan pesan pada pembaca secara khusus dan pada manusia
secara umum, bahwa cinta hakiki hanya milik Tuhan, dan anugerah paling suci
ini, hanya Dia yang berhak. Pesan ini tersirat pada ‘Asmara Loka’ dan ‘Ayat
Cinta’.
Pada
keadaan tertentu, cinta memiliki beragam warna yang mampu diterjemahkan dalam
berbagai macam waktu, bahasa, benda, peristiwa, dan suasana. Dan Arrumy telah
berusaha menyajikannya dengan gayanya. Jika cinta menjadi sebuah analogi suatu
apa, rabalah dari ‘Batu’, ‘Buku’, ‘Cendera Mata’, ‘Fosforisma’, ‘Moksa’,
‘Petir’, dan ‘Seruling’. Dan jika cinta ia terjemahkan dalam peristiwa maka kau
mungkin menemukannya pada ‘Dari Ujung Jalan’, ‘Genderang Gendam’, ‘Sinkope
Kenangan’, dan beberapa lain sebagainya. Dalam ‘Denyut Hari’ ia mencoba membuat
alur waktu tentang cinta dalam sehari. Dan jika hendak dihitung, dari ribuan
kata yang ia gunakan pada MA ini, hanya satu kata selain cinta yang mendominasi
otaknya saat menyusun aksara ini, yakni Rindu. Seperti halnya ia
menggamblangkan si dia sebagai objek pada judul, ia juga menyajikan 6 judul
mengandung ‘Rindu’ diantara 70 isi MA ini. Lain halnya dengan ‘Cinta’, 14 judul
mengandung ‘Cinta’, maka sepakatkah kalian jika di awal tulisan saya tadi
kemukakan bahwa MA ini selayaknya Kamus Cinta, karena pembaca akan temukan
Ayat, Detak, Dibisiki, Fatwa, Huruf, Kata, Lambang, Nafas, Rahasia, Sabda,
Sangkala, Senyawa, Titah, dan Ziarah tentang CINTA.
Jika
ditilik dari latar tempat yang dipilih Arrumy, ternyata dia tidak melulu
menghadirkan Pare sebagai saksi tempat ia menyepuh cintanya, ia juga mencoba
merasakannya di Kairo, Mediterania, Montaza, dan Utopia. Hal ini tentunya
melewati proses yang tidak mudah bagi seorang Arrumy dalam mendudukkan dirinya
pada latar-latar tersebut. Pada ‘Dendam Kamasutra’ ia mencoba latar kehidupan
dengan sisi lain dengan menokohkan para Dewa, pendekar dengan serangkaian
kisahnya masing-masing.
Meski
MA ini lahir pada April 2014, tapi 70 isinya memiliki waktu kelahiran yang
beragam, ada yang telah lahir sejak puluhan bulan yang lalu dan melalui
berbagai proses, dan ada pula yang telah berdiam diri pada otak dan hati Arrumy
sekian lamanya, karena puisi tidak sekedar menyuarakan isi hati, puisi juga
membawa pesan dan kisah penuh misteri, tidak melulu mengisahkan sang penyairnya
akan tetapi juga hasil pengamatan terdalam sang penulis akan fenomena kehidupan
yang ia temui, rasakan, rumuskan, dan simpulkan.
Jika
kalian belum menemukan apa itu hakikat cinta, maka berhati-hatilah saat membaca
MA, karena jika perenungan panjang kalian lakukan sembari menelusurinya, cinta akan
dengan sendirinya memeluk dari segala arah.
Sekian
Komentar
Posting Komentar