2021 Full of Roller Coaster

Sumber: stock.adobe.com


 
Begitu banyak hal terjadi di tahun ini. Selain bau-bau pandemi masih sarat mewarnai, terlalu banyak warna-warni peristiwa, tragedi, air mata, huru hara dan canda tawa memenuhi.

Apa kabar MENULIS?

Belakangan aku seringkali merasa kesulitan menulis. Terlalu banyak isi kepalaku, tak sebanding dengan pergerakan tangan dan jari jemariku untuk menuangkannya dalam tulisan. Apalagi susunan kalimat indah, menjelma puisi, esai, cerpen apalagi novel. Semua harus menunggu perintah dan tuntutan. Lagi-lagi ujungnya untuk apa? Pembuktian. Lagi-lagi akhirnya untuk apa? Pengakuan. Kenapa sih harus itu alasannya. Bisa nggak aku nulis untuk yaaa nulis aja. Untuk sekadar membuktikan aku ada.

Ternyata kalimat-kalimat idealis sok filosofis yang dulu sering kegaungkan semasa masih menjadi mahasiswa semakin mudah menguap. Kenyataannya apa? Sekarang aku menulis harus menunggu didesak. Dituntut situasi tertentu, didorong event khusus, atau demi dipuji dan dipuja orang. Sungguh memalukan! Masih mau mengaku menjadi penulis? Harusnya sih malu ya.

Tunggu, biar kuurai kembali. Apa tadi di kalimat pertama? Kesulitan? Yakin itu kesulitan? Atau hanya malas? Aku tak begitu yakin kalau kau bilang ini kesulitan. Bukankah kau tinggal menyempatkan diri saja. Waktumu banyak. Sempatmu banyak. Mediamu juga siap. Lalu apa lagi alasanmu? Kurasa kau terlalu banyak dalih. Lebih baik sekarang kamu berhenti, duduk dan memulai menulis. Sepertinya itu solusi terbaik saat ini. Bukan begitu, sayang?

Tentang Jatuh Cinta dan Patah Hati

Masih di tahun ini, kenapa aku memberinya nama tahun Roller Coaster? Karena aku mengalami jatuh cinta (kembali) dan patah hati sekaligus dalam waktu yang tak perlu terlalu lama jaraknya. Apakah ini keajaiban? Atau kepiluan? Atau capaian besar yang patut diapresiasi? Sekilas aku baru saja membaca satu tulisan melintas. Ketika rasa sakitmu sudah terlalu parah, kau takkan sanggup lagi menangis, justru kau akan tertawa terbahak-bahak.

Sekitar bulan April, aku merasakan itu. Tertawa terpingkal-pingkal, akibat rasa sakit yang terlalu mendadak dan menusuk. Kamu tahu rasanya dicampakkan? Dihempaskan ke bumi sekuat tenaga setelah mendadak juga diterbangkan ke angkasa. Kenapa kamu harus datang?! Kalau hanya untuk menyakitiku. Lebih baik kau tak datang lagi waktu itu. Cukup kenangan masa lalu kita menjadi indah apa adanya. Tapi ternyata takdir berkata lain. Rupanya kamu harus meninggalkan luka menganga begitu lebar dalam hidupku, dalam hatiku.

Dan parahnya, sampai detik ini, aku belum bisa melupakanmu seutuhnya. Entah mengapa sosokmu, parasmu, suaramu, kalimatmu, masih terus terngiang di kepalaku. Di alam bawah sadarku, kau masih berkeliaran, menghantui tanpa henti. Ini sangat melelahkan. Satu-satunya pertanyaan terbesarku, apakah aku masih menaruh rasa cinta padamu? Hanya hatiku sendiri yang mengerti jawabnya.

Seputar Pernikahan

Kenapa sampai saat ini aku belum juga menikah? Aku masih sangat percaya, Tuhan menyimpan rahasia maha indah di balik kenyataan ini. Meski untuk memikirkan dan menerimanya bukanlah hal mudah. Bukan berarti aku tak mau mengaku kalau aku tak ingin menikah. Aku ingin kok, aku ingin menikah. Aku ingin melalui perpindahan fase hidup yang cukup ekstrem itu. Bahkan aku sering membayangkan merasakan degup jantung saat di posisi menyodorkan jari manis untuk disematkan cincin oleh sang calon ibu mertua. Sedetail itu loh keinginanku. Tapi sekali lagi, aku sangat sadar, keinginan ini bukanlah sesederhana jika kamu ingin makan es krim lalu kamu tinggal merogoh uang dan berangkat ke took terdekat untuk mendapatkannya.

Biasanya, pengalihan pikiranku selalu pada ibuk. Apa kira-kira yang dulu ibuk alami, rasakan dan pikirkan jika ada di posisiku seperti ini. Dan tentunya apakah aku harus mengambil langkah yang sama seperti beliau atau justru tidak. Sejauh ini aku merasa aman jika usiaku masih di batas sebelum usia ibuk menikah. Meski demikian, aku juga sering diliputi berbagai macam ketakutan. Apakah aku akan mati sebelum mendapat kesempatan menikah? Apakah kelak aku akan menikah di usia yang lebih tua dari usia ibuk dulu menikah? Apakah cara bertemu jodohku sama dengan ibuk? Apakah masih lama waktuku untuk bertemu dia? Dan ribuan ‘apakah’ lainnya saling berkecamuk di dalam kepala sempitku.

Membicarakan tentang pernikahan dipertemukan dengan usiaku sekarang rasanya tak fair. Itu artinya seakan memberi tenggat waktu pada takdir, bahwa pernikahan harus terjadi di usia sekian atau sebelum usia sekian. Ah, baru memikirkannya saja sudah membuat dadaku sesak. Memangnya tiap kali melihat pasangan muda sedang berinteraksi, hatiku tak menahan perih? Memangnya tiap melirik saudara yang sudah memiliki anak begitu bahagia, tak membuatku meradang? Memangnya tiap mendapat berita baik dari kawan tentang hari baik jelang pernikahan, ada secuil rasa tergores pedih?

Dan aku harus melalui itu semua dengan tetap menebar senyum, menahan tangis, menahan gigit bibir, dan harus selalu ikut berempati atas kebahagiaan mereka. Ah, apakah ini iri atau dengki? Oh Tuhan, maafkan aku. Aku terlalu banyak dosa. Tuhan, aku juga ingin bahagia. Bahagia yang asli, murni datang dari diriku sendiri. Apakah aku egois, Tuhan? Aku bukan tak ingin temanku tak bahagia. Aku bukan tak ingin saudaraku bersedih. Aku senang melihat mereka bahagia. Aku bahagia dengan kehidupan indah mereka.

Apakah aku ini kurang bersyukur, Tuhan? Sekali lagi, maafkan aku Tuhan. Aku sangat berterima kasih atas semua yang telah dianugerahkan padaku. Sehat lahir batin harus kusyukuri. Ketercukupan dalam melakukan apapun tentu harus kusyukuri. Orang-orang tersayang di sekeliling tentu aku sangat berterima kasih Tuhan. Aku mungkin hanya merindukan pelukan Ibuk, Tuhan. Sampaikan salam sayangku untuknya di langit, Tuhan. Aku yakin dia melihatku dari atas sana. Aku yakin dia mengamatiku lamat-lamat. Aku yakin dia juga ingin aku bahagia di sini.

Sekali lagi, aku sangat mengerti, pernikahan memang bukan tolak ukur kebahagiaan seseorang. Namun entah kenapa aku sangat terganggu dengan tatapan orang-orang yang menusuk tajam ke arahku. Setiap kali mereka tersadar jika aku belum ada di fase pernikahan. Ibuk, aku hanya ingin sekuat ibuk ketika melewati ini semua.

Anugerah di Keluarga

Satu hal yang paling kusyukuri di tahun 2021 ini di antaranya adalah salah satu doa ibuk telah terkabul. Alhamdulillah, akhirnya bapak secara resmi dikukuhkan menjadi guru besar alias rektor. Jika bicara tentang keluarga rasanya mustahil tak menjadi sensitif. Apalagi aku dengan keluarga yang serba misterius. Karena terlalu sensitifnya aku sering berada di fase yang sangat menghindari jika pembahasan sudah masuk pada bab keluarga.

Kondisi keluarga seperti keluarga kecilku ini banyak teman yang mengatakan tak mudah. Akan banyak sekali penilaian dan kecaman bermunculan. Sebagai posisi seorang anak aku pun rasanya tak sanggup berbuat banyak. Terlebih kami sudah sampai di jalan yang ‘maju serba salah, mundur tak mungkin’ ini. Hanya geleng-geleng kepala dan merunduk diam setiap kali satu per satu masalah menghampiri. Mungkin di antaranya hal yang kalau boleh kukatakan menjadi salah satu penyebab belum ditemukannya solusi pada bab pernikahan adalah karena benang merah di bab ini belum juga terurai. Dan aku sama sekali tak berani membayangkan akan seperti apa nantinya akan mengurai.

Jika dua bab penting dalam kamus hidupku ini dipertemukan. Rasanya selalu aku berharap, aku tertidur lelap, mungkin dalam waktu lama. Dan nanti tiba-tiba aku langsung saja terbangun dalam kondisi telah menikah. Karena sebenarnya yang paling kutakutkan adalah proses menuju ke sana. Apalagi dengan sekian panjang pengalaman yang kebanyakan kurang mengenakkan itu. Ah, lagi-lagi aku merindukan ibuk. Buk, bapak sudah jadi professor, ternyata ya biasa saja setelah itu. Apa karena aku sedang jauh darinya ya, Buk.

Cita-cita Lama Terkabul

Jika kita bongkar catatan-catatan kecil, biodata lucu di masa SD, tertera jelas di sana cita-cita seorang Ihdina adalah Guru. Sebuah profesi yang selama ini dinilai kecil namun nyatanya amat agung. GURU. Ditambah satu statement dari mbah lewat ibuk, bahwa pesen beliau, anak cucu keturunannya mbah itu jadi guru nggak boleh dijadikan pekerjaan, melainkan kewajiban. Entah sejak kapan awal mulanya, ternyata mengajar menjadi salah satu passion sekaligus healing-ku.

Semakin ke sini, mengajar menjadi satu aktivitas yang melekat dalam diriku. Bagaimana senangnya berinteraksi dengan orang banyak, terutama mereka teman-teman yang sedang begitu semangatnya belajar. Dan satu hal penting yang kudapatkan, mengajar memberiku kesempatan untuk belajar lagi dan lagi. Sejatinya aku tak memberikan ilmu ataupun pengetahuan baru ke mereka. Aku hanya membagikan ulang apa yang telah kudapatkan dari guru-guru terdahulu, aku hanyalah penyalur informasi itu. Dan tentunya, itulah satu-satunya cara supaya aku belajar kembali, membuka kitab dan bukuku lagi, bernostalgia lagi, dan yang terpenting aku harus berkirim Al-Fatihah dan doa semakin gencar pada guru-guruku.

Saat ini menjadi guru adalah aktivitasku yang paling menyenangkan. Dari 24 jam hidupku dapat terbagi menjadi tiga peran. Menjadi hamba, tentu setiap waktu selamanya, sisanya antara menjadi guru atau murid. Mungkin dalam posisiku sekarang, mestinya masih harus lebih benyak menjadi murid dibandingkan guru. Semakin ke sini, rasanya aku semakin tak mengerti apa-apa. Setiap kali menjelang menghadapi teman-teman didik, aku harus sekuat tenaga belajar dan mengulang, muthola’ah. Aku benar-benar tersadar, betapa ingatan manusia begitu terbatas. Dan aku masih sangat jauh untuk mendapat status penting satu itu, menjadi guru.

Komentar

Postingan Populer