Ini tulisan berwal dari ide di dalam kepala yang telah mengendap lebih dari satu bulan lamanya. Saat itu aku sedang dalam perjalanan. Aku menaiki bis antar kota dari Surabaya menuju Jombang. Entah kenapa seringkali ide liar bermunculan saat diri ini sedang dalam perjalanan. Oleh karena itu aku jarang sekali bermain HP saat di atas roda. Entah itu mendengarkan musik, menonton film, apalagi bermain game online. Bukan karena takut pusing, tapi memang aku senang sekali menikmati perjalanan. Hal-hal yang melintas dengan cepat seakan menyuguhkan sekian banyak cerita. Manusia yang kulihat sekelebat mengandung raut dan ekspresi yang sangat misterius. Membuat khayalanku berlayar ke mana-mana.
Kali ini dalam perjalanan yang cukup singkat ini perhatianku tertuju pada para nahkoda dalam bis ini. Posisi yang kuincar memang seringkali di deret kursi depan. Pertama karena tujuanku tak terlalu jauh, supaya tak merepotkan penumpang lain. Kedua karena aku ingin mengamati lebih dalam tentang para pencari rupiah dalam lancarnya laju roda kendaraan besar beroda empat bermuatan 60-an orang ini.
Orang pertama yang kuamati tentu sopir.
Sepanjang pengamatanku profesi ini dapat berasal dari berbagai jenis usia.
Mulai dari kisaran usia 60 tahun ke atas atau bahkan masih 30-an ke bawah.
Sambil mengamati detail perilakunya ketika menyetir, aku juga diam-diam
menguping pembicaraannya dengan mitra kerja, sang kernet. Sungguh kerjasama
yang sangat apik, hasil yang kudapatkan, rata-rata sopir lebih berpengalaman
akan medan perjalanan maupun kondisi kendaraan khususnya mesin, ketimbang dua
mitra lainnya. Ada dari mereka yang memang sudah menjadi sopir bus cukup lama,
bertahun-tahun. Namun ada pula yang baru satu minggu ini membawa penumpang setelah
sebelumnya biasa membawa truk muatan. Ini tentu membuatku melanjutkan
pengamatan, kira-kira mengapa dia sangat menikmati profesi ini, atau mengapa
dia berpindah ke profesi ini.
Bahkan saking senengnya mengamati, kadang
aku juga mengamati, kapan dia kira-kira butuh waktu ambil napas panjang, untuk
kemudian menyalakan rokok. Juga tentang bekal minuman yang dia bawa, apa dia
menyiapkan kopi hitam, teh panas, atau cukup dengan air mineral dalam botol
kusam sudah lepas labelnya yang ukuran satu setengah liter itu. Dan yang paling
menarik perhatian adalah percakapannya dengan kernet, atau bahkan dengan
penumpang. Dari situ akan tertangkap, apakah dia sudah sangat akrab dengan si
kernet, atau justru baru kenal dalam beberapa perjalanan ini. Mulai dari nama
panggilan, gaya bicara, bahasa, intonasi, hingga topik pembahasan. Jika masih
dalam tahap baru kenal, kadang percakapan diselingi dengan
pertanyaan-pertanyaan seputar hal pribadi, seperti keluarga atau kesukaan.
Namun jika sudah dalam tahap sangat akrab, pembicaraan sudah bisa berkembang ke
membahas teman-teman sesama sopir atau kernet dengan peristiwa yang masih
hangat.
Salah satu yang menjadi perhatian besarku
pada sopir, ketika seorang atau serombongan penumpang hendak turun, di situ
akan terlihat sekilas, mana sopir yang supel mana yang kurang. Atau lebih
halusnya begini, mana sopir yang suasana hatinya sedang baik dan mana yang
sepertinya sedang tak ingin banyak basa-basi. Kadang untuk memastikan sang
penumpang hendak turun di mana, beliau akan menambahkan pertanyaan-pertanyaan
remeh seputar hal yang ada di sekitar tujuan penumpang tersebut. Seperti cuaca
terkini, peristiwa yang cukup melekat belakangan, atau bahkan menanyakan salah
satu kerabatnya, barangkali bisa saja penumpang tersebut mengenalnya. Hal-hal
kecil ini menurut saya sangat menarik, apalagi saya punya kesukaan mengobrol
dengan orang asing. Tentu tidak semua orang sama seperti saya, dan sopir seakan
mengerti mana penumpang yang bisa diajak mengobrol, bercanda ringan, dan mana
yang tak akan berani dia sentil sedikit pun.
Orang kedua yang tak lepas dari pengamatan
saya adalah kernet. Tentu dia yang berada di depan, menyambut saya pada pertama
kali saya menginjakkan kaki ke dalam kapsul bermesin itu. Dan dia pula yang
mengantar saya untuk turun sampai dengan aman dan selamat di tujuan. Menurut
hasil pengalaman saya bertahun-tahun naik bus, manusia dengan profesi yang satu
ini memiliki rentang usia yang cenderung lebih muda daripada sopir tadi. Dan
dari hasil ‘nguping’ saya, rata-rata mereka belum berkeluarga. Ada beberapa hal
unik yang saya dapatkan dari pengamatan kernet ini.
Beberapa kebiasaannya dalam menjalankan
tugas cukup membuat saya kagum. Mulai dari pemberian kode-kode pada sopir akan
situasi tertentu, memberi aba-aba demi lancarnya perjalanan. Terutama pada
beberapa armada bus yang terkenal dengan kelincahannya di jalan raya, tentu tak
akan lepas dari jasa mulia sang kernet. Hal ini perlu diacungi jempol
setinggi-tingginya. Jika diurut dari 3 posisi penting dalam poros perjalanan
ini, mungkin kernet menempati posisi yang paling rendah urgensinya. Namun tentu
tak bis akita bayangkan jika bus antar kota ini melaju tanpa kehadirannya, bisa
dijamin sopir dan kondektur pasti akan kuwalahan sepanjang perjalanan. Jasanya
dalam memberikan aba-aba setiap kali harus berhenti, mengambil penumpang,
memberi peringatan karena ada mobil parkir di sisi kiri, dan yang paling
penting dia radar lalu lintas sepanjang jalur utama bus ini melaju. Setiap
menit selalu berkabar dengan kernet di bus yang telah melaju di depannya dan
yang menyusul di belakangnya, mempertimbangkan jarak antar keduanya dan rute
mana yang sebaiknya diambil supaya terhindar dari kemacetan. Sungguh jasamu tak
terhingga, pak kernet.
Terakhir yang tak kalah penting dalam
perjalanan ini adalah peran seorang kondektur. Sebagai orang yang berjaga di
pintu belakang bus, beliau adalah pemegang kunci kesuksesan bus mendapat
keberuntungan. Karena di tangannya takkan lepas jepitan tumpukan karcis, di
telinganya terselip spidol dengan minimal dua warna berbeda, untuk memberi
tanda, manakah karcis yang telah terbayar dan mana karcis yang belum diberikan
kembaliannya. Coba bayangkan, tidak ada kondektur, apa iya penumpang langsung
memberikan ongkos pembayaran ke sopir? Pasti akan memecah konsentrasinya
membawa setir.
Meski bergerak dengan tangkas dan penuh
kelenturan, kondektur juga dituntut untuk selalu teliti dan cerdas dalam
perhitungan. Teringat saat kemarin terjadi pemotongan harga karena tanggal
merah hari apa gitu, tampak si kondektur sangat pusing menghitung lebih rumit
tiap kali pembayaran. Saya juga pernah mengamati suatu ketika, sudah mendekati
tujuan akhir pemberhentian, kondektur terlihat sangat pening karena perhitungan
dalam kertas genggamannya rupanya ada selisih. Tentu ini membuatku tak tega.
Belum lagi di pertengahan perjalanan tentu sudah dibutuhkan sekian persen untuk
mengisi bahan bakar. Bisa dikatakan kondektur ini bendaharanya perjalanan.
Tanpanya tentu bus ini takkan berjalan dengan lancar, sopir tak semangat
menginjak gas dan mengendalikan rem, dan kernet akan enggan memberi
komando-komando penting demi keselamtan seisi bus.
Dari sekian ulasan tersebut di atas, dapat
saya simpulkan 3 tokoh penting dalam bus ini bagaikan trias politika dalam
jalannya sebuah negara. Sopir dapat diandaikan menggawangi bidang ekskutif sebagai
pimpinan negara. Sedangkan kondektur dapat menduduki yudikatif, yakni yang
membuat peraturan dalam jalannya negara, dalam hal ini adalah ongkos setiap
penumpang yang naik. Dan tentunya kernet sebagai legislatif, dia yang bertugas
mengawasi jalannya negara ini, dialah yang memberikan arahan-arahan penting
pada presiden dalam mengambil langkah-langkah penting, demi kemaslahatan
umatnya.
Yuk, naik bus lagi!
Komentar
Posting Komentar