Setelah 13 Tahun
Pagi itu aku tak menduga apapun. Suasana hati pun sedang biasa-biasa saja. Sampai ketika Bude mengajak ngaji di rumah Mas Awis. Aku sangat antusias. Tak sabar ingin segera tiba di tempat mulia itu. Tentu juga karena momennya. Mengaji. Satu momen yang sudah cukup lama tidak kulakukan beberapa tahun belakangan ini. Rasanya jika benar-benar diingat, terakhir kali aku benar-benar mengaji itu ketika mondok Ramadhan.
Tahun terakhir
aku berangkat mondok kilat Ramadhan itu tahun kedua kuliah S1. Itu artinya sekitar
tahun 2014. Maka menuju tahun ini bisa kurang lebih tujuh tahun. Ya Allah. Betapa
tak tahu dirinya aku ini. Begitu sombongnya hamba hina ini. Padahal akses begitu
banyak. Kini mengaji bisa tinggal menatap layar handphone atau laptop. Jangankan
mengaji yang sesungguhnya, membuka kitab kuning, memegang bolpoin hi-tech,
menuliskan satu per satu maknanya. Ikut webinar saja banyak yang tidak dicatat
materinya. Atau meskipun dicatat pun, setelah itu lupa entah ke mana
catatannya.
Astaghfirullahal
‘adzim. Betapa bodoh dan meruginya diri ini jika terus-terusan terjebak dalam situasi
ini. Betapa senangnya aku ketika hari ini mendapat kesempatan emas. Singkat
cerita kami berangkat berempat menuju ndalem Mas Awis. Setelah menanti sekitar
15 menit, ternyata yang muncul adalah sesosok laki-laki yang sudah lama sekali aku
tak berjumpa.
Pak Nur Huda, seorang guru yang luar biasa. Tak sanggup mendefinisikannya terlalu terperinci. Beliau adalah salah satu dari sekian guru yang tak mungkin bisa kulupa. Bobot ilmunya, tawaduknya, kedisiplinannya, dan perhatiannya kepada murid-murid pasti akan memberi ruang tersendiri pada puluhan bahkan ratusan muridnya. Aku yakin itu. Hal paling membekas dalam benakku adalah saat aku pertama dan terakhir kalinya mendapat ta’zir dari beliau. Akibat terlambat berangkat diniyah, aku bersama teman-teman satu asrama diutus menulis surat Al-Kahfi lengkap dua kali di kertas folio.
Selain itu,
aku sangat mengagumi beliau tentunya dari segi ilmu. Mendengar beliau mengaji
rasanya seperti mendapatkan siraman luasnya lautan pengetahuan. Segala cabang
ilmu agama beliau menguasainya dengan baik. Nahwu shorof terasa sudah hafal di
luar kepala. Fiqih dan ushul fiqih mampu beliau paparkan sedalam dan sedetail
mungkin. Dan tasawuf tafsir hadits, semuanya mampu beliau kuasai dan jelaskan dengan
sangat baik.
Pada pertemuan
penuh rindu berkecamuk ini, beliau menggantikan Mas Awis yang berhalangan.
Membacakan kitab syarah (isi) dari Qoshidah Burdah. Bagiku duduk, mendengar,
menyimak, dan menuliskan satu per satu makna yang beliau bacakan, adalah satu momen
penuh haru. Berkaca-kaca mataku dibuatnya. Seperti tak percaya. Benarkan aku kenyataan
ini. Rasanya masih seperti mimpi.
Ilmu penting yang beliau jelaskan tadi di antaranya adalah macam-macam tingkatan Orang Mencintai (al-muhibb) di dalam kitab Ihya' Ulumuddin karangan Imam Ghozali:
1. Orang yang hanya mencintai dirinya sendiri (seperti hewan)
2. Orang yang mencintai orang lain karena mereka berbuat baik padanya (orang awam)
3. Orang yang mencintai orang karena mengandung kebaikan, aura positif (para alim ulama)
4. Orang yang mencintai secara murni (mahdhoh) inilah tingkatan tertinggi, ketika mencintai suatu dzat atau seseorang tanpa perlu alasan apapun
Memang betul
hubungan antara murid dengan guru itu bukan main bisa begitu kuat. Kemudian banyak
hal berkecamuk dalam kepalaku. Tentang penyesalanku belum bisa silaturahmi pada
semua guru-guruku. Tentang rasa senang dan syukur kepada Allah atas kesempatan
menggembirakan ini. Tentang betapa rindunya kembali mengaji dan mengaji,
belajar dan terus belajar. Ya Allah, semoga aku masih bisa terus dianggap murid
oleh semua guru-guruku. Apalagi melihat keadaanku sekarang. Ini semua takkan
terjadi tanpa adanya jerih payah para guru. Kepada semua guruku, AlFaatihah.
Seperti keterangan
Pak Huda pada syarah kitab Burdah tadi. Rindu yang bertalu-talu serasa mampu mencampur
air mata dan darah. Begitu lafaz Syekh Al-Busyiri pada bait pertama qoshidah
yang menerangkan tentang rindu maha hebat pada sang kekasih, Baginda Rasulullah
Saw.
Maturnuwun,
Pak Huda. Maturnuwun sedanten guru kulo.
Komentar
Posting Komentar