Segitiga Poros Hati Manusia

Hati adalah bagian dari tubuh manusia yang kecil, di dalam, namun menentukan segalanya. Jika baik hati seorang manusia, maka baik pula seluruh tubuhnya. Jika buruk hati seorang manusia maka buruk pula seluruh tubuhnya. Di balik sebongkah hati merah penuh dari di dalam organ vital manusia tersebut, terdapat peran yang tak kalah pentingnya sebagai penggerak utama. Manusia bagaikan sebuah kendaraan yang dinyalakan dan hidup. Maka hati adalah mesin sebagai motor utama yang menggerakkan tingkah laku dan gerak geriknya.

Di dalam hati berkecamuk banyak hal. Di sana ada rasa suka dan duka. Dari sana muncul rasa senang juga benci. Di sana tumbuh dorongan untuk kebaikan, juga ke arah kejelekan. Dari sanalah semua sumber tindakan tersebut. Di antara sekian perbuatan dan tingkah laku tersebut, ada beberapa gerak hati yang tak bisa dikendalikan oleh akal pikiran. Hal ini terjadi karena tergerakkan oleh nafsu. Di dalam diri manusia terdapat beberapa nafsu, di antaranya nafsu muthmainnah adalah nafsu yang mengajak untuk berbuat kebaikan. Sedangkan nafsu Ammaroh bis suu’ adalah nafsu yang mendorong berbuat kejelekan.

Gerak-gerik hati ada kalanya dapat diterjemahkan oleh lisan dengan ucapan atau oleh tubuh dengan kaki tangan. Namun ada beberapa rasa yang tak bisa diterjemahkan dengan anggota tubuh lainnya. Tiga gerak hati ini yang dapat dikatakan sebagai segitiga poros hati manusia. Segitiga ini terdiri dari sabar, syuku, dan ikhlas. Tiga sikap hati ini tidak akan bisa diwakili oleh lisan. Namun pembuktiannya oleh tingkah laku dan keyakinannya di dalam hati. Mari kita urai satu per satu.

Manusia dapat dikatakan sabar jika dia sudah tidak lagi mengatakan sabar. Ketika seseorang merasa dirinya sudah sabar maka dia berarti belum mencapai derajat sabar tersebut. Terlebih jika dia sudah berkoar-koar tentang kesabaran dirinya. Semakin dia memamerkan dirinya telah bersabar maka semakin hilang makna kesabarannya. Begitu pula dengan syukur, hanya perlu dibuktikan dengan perilaku saja. Jika manusia sibuk menggembar-gemborkan dirinya yang suka bersyukur maka hanya kosong yang dia dapat. Hal-hal ini justru mendorong manusia ke jurang kesombongan dan keangkuhan tak berujung.

Dari ketiga poros tersebut yang paling tinggi kedudukannya adalah ikhlas. Hanya Allah yang bisa mengukur kadar ikhlas seseorang. Bahkan ibadah apapun jika sudah ternodai nilai keikhlasannya, maka sia-sia sudah ibadah tersebut. Hanguslah sudah pahalanya. Di dalam sebuah riwayat diceritakan, tentang pentingnya rasa ikhlas tertanam pada diri manusia, seorang hamba Allah. Khususnya dalam hal beribadah kepada Allah. Untuk sholat dan zakat kita saja jika sudah terbumbui riya’, tidak ada ikhlas, maka lenyap sudah nilai ibadah tersebut.

Ada sebuah kisah berkaitan tentang pentingnya rasa ikhlas. Dikisahkan seorang kyai di masa Bani Israil, telah beribadah selama 75 tahun lamanya. Dia bahkan menyepi seorang diri di sebuah gunung. Jauh dari manusia, jauh dari kehidupan ramai. Dia menghabiskan waktu siang dan malam hanya untuk beribadah, sholat dan berdzikir. Tidak ada kehidupan duniawi sama sekali menyentuhnya. Lalu Allah mengetahui hal itu. Allah memanggil malaikat Jibril, Allah mengutusnya menemui kyai tersebut. Allah memberi tahu bahwa ibadahnya puluhan tahun ini tidak diterima oleh Allah.

Malaikat Jibril pun turun ke bumi, menjelma manusia dan menemui kyai tersebut. Saat ditemui, Sang Kyai pun bertanya, “Siapa kamu?” Malaikat Jibril menjawab, “Aku malaikat Jibril, diutus Allah menemuimu dan menyampaikan satu hal.” Dengan sangat bahagia kyai tersebut pun menjawab, “Alhamdulillah,” Lalu malaikat Jibril melanjutkan beritanya, “Tetapi, aku membawa berita kurang baik, Allah tidak menerima seluruh ibadahmu,” Tak terduga jawaban sang kyai tersebut, “Alhamdulillah…” Malaikat Jibril pun keheranan dan bertanya, “Mengapa ketika ibadahmu tidak diterima kau malah bersyukur?” Jawaban sang Kyai membuat malaikat jibril semakin tertegun, “Aku beribadah tidak mengharapkan apapun. Selain menunaikan kewajiban yang diperintahkan Allah padaku selaku hamba-Nya.”

Ini adalah tingkatan tertinggi kadar keikhlasan seorang hamba. Bukankah betul, jika kita beribadah maka tidak boleh mengharapkan surga atau kenikmatan kelak di akhirat. Seumpama kita makan apakah selalu mendapatkan kenyang? Ataukah selamanya kenyang kita dapat karena kita makan. Begitu pula dengan timbal balik ibadah kita dengan kasih sayang Allah. Ini bukanlah sebab akibat yang bisa terjamin keterkaitannya. Mari kita belajar mengendalikan hati agar selalu bersikap baik dan santun, terutama kepada Allah Swt..

#BERSEMADI_HARIKE-9
#inspirasiramadan
#dirumahaja
#flpsurabaya

Komentar

Postingan Populer