Menerima
Kita tidak akan pernah siap sepenuhnya menerima kenyataan pahit dalam hidup. Apapun itu. Hal-hal yang getir, menyakitkan dan tidak diharapkan. Tentu tidak ada seorang pun yang mengharapkan hal itu datang. Membayangkannya saja sudah mimpi buruk rasanya. Apalagi saat menerimanya sebagai kenyataan. Namun apakah sebenarnya yang ada dalam benak terdalam kita? Sudah ada. Minimal bayangannya telah tergambar dan tertinggal dalam alam bawah sadar kita.
Bukankah sajian teka-teki kehidupan sudah banyak tersaji di hadapan kita. Tinggal sejauh mana kita menyiapkan diri menerima kenyataan-kenyataan tersebut. Kita pernah melihat orang kehilangan, kita akan membayangkan kita yang ada di posisi kehilangan. Suatu saat melihat orang lain tertimpa musibah, maka sangat mungkin kita yang ada di situ. Saat menyaksikan orang terjatuh, maka tidak ada yang menjamin sedetik kemudian kita juga mengalaminya.
Bukankah hidup adalah ladang cermin. Apa yang kita lakukan bisa jadi imbas dari apa yang kita saksikn. Apa yang kita alami menjadi petunjuk bagi orang yang mengamati. Begitu seterusnya. Bicara tentang kehidupan maka takkan terlepas dari persinggungan antar manusia. Dengan sekian banyak status dan hubungan. Dengan aneka cerita dan dilema. Dengan drama dan prahara. Begitulah kira-kira yang tengah terjadi padaku.
Cinta adalah anugerah yang dirasakan secara alami. Tidak bisa dimunculkan dengan sengaja juga tidak bisa dihindari sekuat tenaga. Namun cinta bisa diusahakan dan dipancing. Jika kita bisa memilih bertemu dengan siapa tetapi kita tidak bisa menentukan mencintai siapa, jika hati tak senada dengan jalan pikiran kita. Cinta pun harus sesuai dengan porsinya. Sebagaimana kesiapan kita menerima kenyataan. Cinta yang berlebihan tidak akan memberikan kebaikan pada kedua belah pihak.
Kenyataan pun juga tak selamanya berpihak dengan cinta. Bisa saja cinta itu ada dan terbalas satu sama lain, namun kenyataan berkata lain. Bisa saja kenyataan sudah begitu mendukung namun cinta yang tak hadir dari kedua pihak. Ah, bicara tentang cinta memang selalu menyita waktu dan tenaga besar. Ada banyak sekali cerita tentang cinta takkan habis sepanjang zaman.
Kisah cintaku mungkin tak terlalu menarik. Masih cukup mainstream dengan cerita kebanyakan. Sebagaimana di roman-roman cinta klasik, kisah-kisah sinetron, film-film terbaru atau novel-novel romantis yang digemari kaum muda merona merah jambu. Namun, rupanya yang dirasakan setiap peristiwa selalu berbeda. Letupan-letupan nyeri akan selalu ada yang baru. Goresan luka akan hadir beragam rasa. Dan perih yang tertinggal juga memiliki kedalaman yang berbeda lagi dan lagi.
Aku pernah mengalami jatuh cinta. Tidak hanya sekali dua kali, sudah ke sekian kali. Cinta yang terakhir kemarin ini cukup lain. Ada dorongan untuk jatuh. Ada tiupan angin segar untuk melanjutkan ke fase berikutnya. Ada kekuatan yang muncul dengan dari luar, dari sekitar untuk tenggelam dalam keindahan rasa jatuh cinta. Bahkan semenjak awal bertemu dengannya ada mimpi indah yang ditawarkan. Bukan darinya namun dari orang-orang tersayang di sekitar kami. Begitu melayang, indah dan melenakan.
Kami lalui segala tatanan skenario yang telah dirancang. Kami ikuti semua arahan dari mereka semua. Aku tahu mereka mengharapkan yang terbaik untuku. Hingga akhirnya cinta itu benar-benar hadir. Waktu demi waktu berjalan, cinta tumbuh dan bersemi. Kalimat-kalimat rindu semakin menghiasi hari. Bayang-bayang indah kian menghantui. Hingga aku sama sekali tak menginginkan apapun lain lagi.
Hari demi hari kami lalui dengan yakin dan pasti. Bahwa kelak akan tiba waktu indah untuk kami menikmati. Bahwa kebahagiaan telah dekat pasti menghampiri. Bahwa kebersamaan akan merangkul kami. Ah, indahnya berkhayal setinggi angkasa. Dia pun satu per satu menepati janji. Dia jalani proses langkah demi langkah. Gayung pun bersambut. Pintu yang terketuk telah terbuka sedikit demi sedikit. Ketika dia telah mendapat tempat di beranda kediamanku, tentu senyum bertengger di beranda hatiku.
Keberaniannya untuk datang dan mengetuk. Untuk pertama kalinya di rumah seorang gadis. Keyakinannya melangkahkan kaki memasuki pagar rumahku. Memberikan bukti yang begitu kuat akan apa yang ada di hatinya. Lalu bagaimana tidak aku merasa melayang. Bagaimana aku mampu meredam bunga-bunga bermekaran di kebun perasaanku. Bagaimana aku menutup rona merah yang menguar setiap waktu. Dari sekian lelaki yang memikat sebelumnya, ini adalah pengalaman pertama bagiku.
Segalanya berjalan dengan mulus, harapku. Namun apalah daya manusia, hanya mampu bermimpi dan berencana. Tuhan rupanya ingin menguji bolak-baliknya perasaan kami. Tuhan ingin aku cukup mengetahui rasa awal jatuh cinta dan harapan melambung tinggi. Tuhan ingin aku lebih menikmati perihnya sakit hati lantaran melepaskan dengan getir meradang.
Ungkapan-ungkapan cinta dan rindu terus menyelimuti kami setiap waktu. Membuatku sama sekali tak membayangkan kenyataan pahit yang sangat mungkin terjadi. Ini mungkin rupanya Tuhan memberiku pelajaran. Bahwa dari rasa tidak melulu indahnya saja. Dari pengalaman tak melulu manis saja. Pahit dan patah juga bagian dari anugerah Tuhan yang patut disyukuri. Mungkin aku abai tentang itu.
Semua terjadi saat suatu hari aku dipanggil oleh sang penanggungjawabku. Beliau katakan bahwa aku tak perlu lagi melanjutkan hubunganku dengannya. Awalnya aku hanya tertawa getir, kemudian mengangguk. Hanya itu yang bisa kulakukan di depan beliau. Namun sepeninggal beliau, aku tertunduk. Terdiam membisu sepersekian waktu. Sebelum kuceritakan padanya, dia sudah lebih dulu berinisiatif menemui beliau. Memastikan apa langkah selanjutnya. Dan jawabannya pun sama dengan jawaban padaku. Semuanya harus diselesaikan, disudahi, dihentikan, titik.
Air mataku mengalir, pelan namun pasti. Hatiku terhempas. Rasanya badan ini melayang hampa. Aku tak mengerti perasaan apa ini. Yang kupahami rasanya seperti tergores luka yang dalam, perih namun tak berdarah. Sakit dan basah. Saat itu yang ada dalam kepalaku hanya ingin hilang saja dari bumi ini. Terlebih setelah itu beliau menyuruhku melanjutkan studi.
Beberapa waktu berlalu, aku mencoba menguasai luka. Namun dengan cara menutupinya. Aku tetap melalui hari seperti biasa. Belajar dan bekerja bertemu banyak orang. Seakan tak terjadi apa-apa. Tentu masih dengannya. Ini yang tak seharusnya kulakukan. Aku mengerti jika ini sudah tidak ada lampu hijau lagi, tapi aku tetap bermimpi lampu akan berganti kuning dan siapa tahu berakhir hijau kembali.
Berbagai cara dan upaya meluluhkan hati beliau kami gencarkan. Berkirim surel dan garam usaha batin kami gencarkan. Cinta dan rindu kembali terus kami gencarkan. Memenuhi hari-hari indah bersama. Hubungan jarak jauh dengan obat rindu sekitar seminggu sekali. Bukankah menikmati cinta juga bagian dari menikmati anugerah dalam hidup.
Tak terasa dua tahun berlalu dari awal mula kami dipertemukan. Dan lampu merah rupanya semakin keras dan konsisten. Harapan berganti kuning semakin meredup. Maka semakin jauh mimpi berganti lampu hijau. Di situ kami putuskan untuk berhenti. Setidaknya berdiam menenangkan diri sambil menurunkan gejolak. Adakah yang lebih berbahaya dari gejolak cinta dan amarah. Terlebih jika keduanya dipertemukan. Ini sungguh mengerikan.
Malam-malam kulalui dengan penuh sesak napas. Setiap petang bayang-bayang gelap akan kehilangan semakin menghantui. Sebenarnya ini adalah fase awal aku seharusnya mampu menyiapkan kenyataan. Kenyataan pahit yang waktu itu rasanya tak terbayangkan. Janji-janji yang dulu terkobar bak letupan air mendidih. Kini semakin meredup dan mereda. Bukan karena hilang dengan sendirinya, namun aku berusaha sekuat tenaga menguranginya. Tentu ini bukanlah hal yang mudah.
Sebagai pihak yang serba salah, aku segera membuat keputusan padanya. Untuk segera menyudahi ini semua. Meski dalam hatiku meronta-ronta. Dia masih begitu lembut mengurai permasalahan.
Aku diberinya beberapa pilihan. Juga masih diiringi dalam melanjutkan hidup untuk menjaga kewarasan. Namun dalam kepalaku hanyalah gelap. Aku tidak ingin berpikir apa-apa lagi. Aku sudah ingin berhenti. Aku begitu lelah dengan ini semua. Bukan karena aku tak lagi mencintainya. Namun aku lebih ingin menjaga kemurnian cintaku ini. Supaya tak tercampuri dengan nafsu atau keinginan-keinginan lain yang membuatnya gelap. Meski jauh dalam bilik perasaanku masih bergeming.
Setiap malam tangisku masih meradang. Tanpa ditemaninya lagi. Sesak napasku juga masih rutin datang. Tanpa dibantu dia melegakan dada lagi. Lamunan panjang juga masih memenuhi hari-hariku. Tanpa dia tahu sedikitpun sakit ini. Aku tahu, dia pun merasakan hal yang sama. Maka baiknya mari kita nikmati masing-masing kesedihan sunyi ini.
Waktu pun berlalu, sesekali kami masih berkesempatan berbincang meski tak langsung. Bertanya kabar, memberi semangat dan doa. Kata pepatah adakah yang lebih indah pada rindu sepasang kekasih dari doa yang saling dikirimkan pada sepertiga malam tersunyi mereka di bilik masing-masing. Aku perlahan menepiskan sekian banyak bayang-bayang indah tentangnya. Tentang namaku yang selalu disebutkan pada doa panjang di malam ibunya. Tentang pertanyaan dari ibunya tentang ukuran kaki dan jari. Tentang banyak hal perhatian kecil darinya. Peluk cium pijatan semua menguap dalam angan-angan. Semuanya telah berakhir. Pesanku yang terakhir untuknya jika kelak bertemu dengan perempuan lain yang segera naik pelaminan tolong aku diberi kabar. Supaya aku harus benar-benar menutup pintu dan pagar hatiku darinya.
Siang itu aku sedang berkumpul dengan para sahabat. Satu pesan muncul darinya. Mengirimkan sebuah foto undangan bertuliskan namanya. Tentu dengan nama perempuan lain. Mataku seketika membelalak. Selaput air melintas di depan pupil. Segera kukerjapkan kelopakku sebelum semakin banyak air yang membanjiri. Aku tersenyum dan membalas pesan pendek tersebut dengan doa. Doa terbaik untuknya. Doa terbaik untuk kelancaran hari baiknya. Doa terbaik untuk pernikahannya. Doa terbaik untuk cintanya. Doa terbaik untuk segalanya. Jauh di dalam hatiku, doa terbaik untuk kekuatan diriku sepeninggal dirinya.
Apalah dayaku sebagai manusia biasa, tanpa kekuatan daya upaya dari Tuhan Yang Maha Esa. Hanya doa yang mampu kuandalkan. Hanya kelimpahan kasih Tuhan yang mampu menguatkanku. Mungkin berikutnya aku akan melibatkan rinduku pada ibunda. Di saat seperti ini betapa rapuhnya aku tanpa ibuk. Sangat kurindukan pelukan hangat ibuk yang menenangkan. Sangat kubutuhkan penghiburan dan belaian ibuk yang mengembalikan kekuatanku. Sangat kuimpikan kehadiran ibuk di sampingku. Mendengarkan ceritaku, keluh kesahku, air mataku, luka sakitku, hingga segalaku. Ibuk pulalah yang paling mengerti tentangku. Ibuk yang mampu meredam sakitku. Jika kukembalikan ingatanku pada masa muda ibuk. Betapa kuatnya ibuk menjalani kehidupan remaja yang serba sulit. Sehingga terbentuklah betapa tegarnya ibuk menjalani kehidupan hingga akhir hayatnya.
Hari itu, tepat sehari setelah ia mengucapkan janji suci dengan perempuan lain. Dan tepat sehari sebelum ia melangsungkan acara di rumahnya. Aku melakukan perjalanan pulang ke kota kelahiranku. Saat melintas di jalan depan rumahnya sempat kulirik apa yang terjadi di sana. Rupanya masih akan dipersiapkan terkait acara yang akan digelar esok harinya. Aku masih terus berusaha bersikap tegar. Aku berbisik pada diriku sendiri bahwa aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja.
Sekarang aku menjalani hari dengan penuh tekanan afirmasi positif pada diriku sendiri. Selalu kupastikan pada hati dan jiwaku bahwa aku tidak terjatuh, bersedih, terpukul. Aku tidak kenapa-napa, aku baik-baik saja. Tiga hari berlalu, rupanya batinku semakin muak dengan penekanan itu. Aku mulai bercerita pada teman-teman dekatku, pada sahabatku. Rupanya yang kulakukan ini salah. Aku telah menyiksa batinku sendiri. Aku membohongi perasaanku. Ini tidak bisa dibenarkan. Tidak seharusnya aku begini. Aku menyiksa batinku sendiri. Seharusnya aku mengakui ini semua. Tidak apa-apa diri kita sedang apa-apa. It’s okay not to be okay. Aku pun menarik napas perlahan. Mengambil jeda pada napas panjangku yang lelah. Lebih banyak berbicara pada diri sendiri. Aku ingin mendengar apa sepenuhnya yang tengah ia alami dan rasakan. Baiklah mari kita dengarkan.
Aku patah hati. Aku sakit. Aku terluka. Aku jatuh. Aku hancur. Aku ingin lari dari semua ini. Ini terlalu perih kurasakan. Aku sendiri. Aku tak berdaya. Aku lemas lunglai. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku telah mengikuti apa yang mereka anjurkan. Aku telah mulai mencintainya. Aku juga tahu dia mencintaiku. Aku merindukannya. Tapi kenapa dia kini bersanding dengan perempuan lain. Kenapa harus secepat ini. Apa karena dia tidak benar-benar mencintaiku. Aku kesal. Aku menangis.
Saat itulah air mataku meleleh mengalir begitu deras tak terbendung. Di situlah jari-jariku tak bisa kukendalikan. Jariku mencari informasi yang tak seharusnya kuterima saat ini. Kudapati beberapa potret kebersamaan itu. Kebersamaan mereka. Senyumnya. Senyum mereka. Kebahagiaannya begitu nyata. Kebahagiaan mereka berdua. Di situlah air di pipi semakin deras mengalir. Ah, nikmatnya mengakui kesakitan ini. Tersentuh masuk meresap ke relung paling dalam di batinku.
Keesokan harinya saat terbangun, sempurnalah sakit ini. Batuk dan flu berat menyerang, demam badan menjadi-jadi. Ya, bulat sudah kesakitan ini. Kalau dipikir-pikir lagi, lucu juga sih, kok bisa ya aku sampai seperti ini. Tapi ya beginilah yang terjadi. Sungguh nyata. Ternyata sakit ini benar-benar terjadi. Buktinya fisikku pun ikut merasakannya. Dulu semasa kecil kata ibuk aku biasanya demam kalau punya keinginan yang belum terpenuhi. Atau ada sesuatu yang tertahan dalam hati. Halo, bukankah ini sudah tidak kecil lagi. Tapi ya sudahlah, bukankah setiap orang punya ‘anak kecil’ pada dirinya yang akan muncul pada waktu tertentu. Dan ini terjadi secara manusiawi. Jadi yang kurasakan ini cukup normal. Jatuh cinta dan patah hati adalah hal yang wajar. Bahagia dan nestapa juga nyata adanya. Tak perlu terlalu terlena juga terlalu menghindar. Karena dengan mereka semua manusia mampu bertahan hidup.
Bukankah seperti isi bumi ini. Ada siang ada malam. Ada hitam ada putih. Ada gelap ada terang. Dan saat ini giliranku menerima sisi sedikit gelap itu. Untung aku tak terlalu terkejut lagi. Karena bagiku sisi paling gelap adalah saat ibuk meninggal. Itulah yang paling gelap bagiku. Belum ada yang lebih menyentak daripada kenyataan itu. Dan itu sama sekali tak terduga tak terbayang tak terpikirkan. Kalau ini kan aku sempat punya bayangan, sudah mulai mempersiapkan. Dan dari awal pun cinta sudah diusahakan untuk dikembangkan. Bukan cinta yang terlahir secara alami tanpa ada kesengajaan.
Beginilah liku-liku perasaanku sebulan terakhir ini. Kenyataan besar yang kusyukuri adalah saat ini aku berada di lingkungan yang sangat aman. Lingkungan yang selalu merangkul. Dekat dengan ibuk, penuh cinta dan kasih sayang, hangat pelukan doa dan semangat dari Bude dan saudara-saudara. Bukankah ini adalah situasi paling nyaman. Maka tak seharusnya aku meratap terlalu lama dan berlebihan. Flu dan batuk itu cukup dalam waktu seminggu saja. Setelah itu kehidupan harus terus berlanjut. Progress tesis menunggu untuk segera dijamah. Sahaja tidak mungkin mengalami lumpuh lebih lama lagi. Murid-murid tersayang juga tidak bisa diabaikan lagi.
Indahnya. Tenangnya. Lepasnya. Setelah terkuak semua di sini. Terasa telah melepaskan beban sekian ton dari pundak lemahku. Seperti hilang sebagian lelah berkepanjangan. Kini waktunya terus menjaga diri dan hati agar senantiasa waras. Akan banyak pertanyaan dan pandangan berseliweran tentangku. Juga cibiran atau candaan keras terkait kondisiku. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ya dijawab sebisanya dengan senyum sopan. Bahwa setiap hidup manusia sudah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan Sang Maha Pengatur. Apapun yang datang dan melintas, aku akan terus berjalan sesuai caraku dengan takdir adanya diriku.
Mungkin pertanyaan-pertanyaan akan terus bermunculan, namun hatiku hanya milikku seorang. Maka hanya aku yang punya kuasa atasnya. Kapan menikah? Kapan menyusul? Kapan bagi undangan? Tuh temenmu SMA udah menikah semua, udah punya anak semua, kamu kapan? Itu sepupumu sudah pada menikah padahal usianya jauh di bawahmu, kamu gimana? Ini habis selesai S2 langsung nikah ya? Gimana sudah pengen punya anak kan? Siapa ya kira-kira nanti jodohmu? Ibumu dulu menikah usia 30 ya, yaudah santai aja, masih 25 juga sekarang. Dan akan sangat banyak sekali (kali ini aku gunakan pemborosan kata karena benar-benar terlalu banyak) berdatangan ucapan dan cibiran dari orang lain. Terutama terkait pernikahan padaku.
Apa yang kulakukan? Tersenyum. Apakah hatinya juga tersenyum? Belum pasti sih, hehehe. Tapi ya sudah, yang penting tidak sampai menyakiti hati orang lain. Kecuali kalau memang orangnya sudah sangat berlebihan. Bayangkan saja, dari para sepupu dari ibuk yang belum menikah aku adalah yang tertua dari mereka, bahkan ada yang usianya di bawahku sudah menikah. Begitu juga dengan sepupu dari bapak, tertinggal aku tertua yang belum menikah. Di antara teman-temanku SD yang belum menikah, dari teman perempuan ya tinggal aku. Dari teman-teman tetangga seumuran, juga di antaranya yang belum menikah ada aku. Dari teman SMP sepertinya masih ada beberapa banyak yang belum menikah, meski sebagian besar teman dekatku sudah menikah bahkan sudah punya anak.
Dari teman kelas di pondok tertinggal 3 orang yang belum menikah, salah satunya tentu aku. Dari teman SMA yang perempuan juga tinggal hitungan jari satu tangan yang belum menikah. Dari teman S1 masih cukup banyak yang belum menikah, dari yang teman dekatku tertinggal aku. Dari teman organisasi juga tersisa beberapa teman perempuan yang sepantaran, juga tersisa aku. Lalu apakah aku sedih? Apakah aku nelangsa? Apakah aku terpuruk? Iya, aku pernah merasa begitu, tentu. Aku manusia biasa, aku perempuan biasa. Aku punya hati. Hatiku mengecil dan meradang. Apa itu iri? Apa itu dengki? Aku memohon ampun kepada Allah jika memang ini dinamakan iri. Tapi aku pun sekuat tenaga berusaha meredamnya. Aku harus bisa menguasainya. Jika bukan aku sendiri, siapa lagi yang menghiburnya.
Wahai aku, tidak apa-apa kamu belum menikah.
Menikah bukanlah tujuan utama dalam hidup.
Menikah bukan tolak ukur keberhasilan seorang perempuan.
Tidak dengan menikah saja, perempuan menemukan kebahagiaannya.
Jika sampai hari ini kamu belum juga menikah, kamu tetaplah istimewa.
Kamu berhak bahagia. Kamu berhak meraih mimpimu.
Wahai aku, berbahagialah dengan apa adanya dirimu.
Bukan melulu pernikahan ukurannya.
Bukan selalu laki-laki sebagai pasangan adalah wujud keberhasilanmu.
Wahai aku, kamu belum menikah sekarang bukan berarti kamu tidak laku.
Kamu adalah perempuan bebas dan merdeka.
Kamu berhak berbuat apapun yang melegakan perasaanmu.
Kamu tak perlu meratap karena kesendirianmu saat ini.
Wahai aku, jadilah dirimu apa adanya.
Bukan dengan omongan dan cibiran orang kamu berdaya.
Kamu mampu berdiri di kakimu sendiri.
Menopang segala kekuatan dan keperkasaan diri.
Kamu hebat dalam melakukan apapun.
Kamu telah berusaha sekuat tenaga meraih kebahagiaan.
Maka, nikmatilah selagi kamu bernapas lega.
Wahai aku, tersenyumlah setiap kamu bahagia.
Menangislah ketika kamu merasa sakit atau terluka.
Wahai aku, dunia tidak akan terhenti karena kamu belum menikah.
Kamu justru punya waktu banyak untuk dirimu sendiri.
Kamu bisa berbuat banyak bersama dirimu.
Kamu bisa meraih mimpimu.
Kamu bisa menyelesaikan tanggung jawabmu.
Kuncinya kamu bahagia dan bersyukur.
Kamu mampu menerima segala sesuatu yang ada.
Wahai aku, mari belajar menerima diri sendiri apa adanya.
Wahai aku, terima kasih atas 26 tahun yang istimewa dan berharga ini.
Kenyataan apapun yang datang dan menghampiri.
Kamu adalah yang terbaik versi dirimu.
Mari kita lanjutkan perjalanan panjang di depan dengan langkah penuh semangat berseri.
Komentar
Posting Komentar