Trip Solo Tidak Solo


Hari itu merupakan pesta demokrasi nusantara. 17 April 2019. Saat Indonesia tengah memiliki hajat besar dalam menentukan pemimpin negeri. Tidak hanya pemimpin pusat level nasional alias presiden. Melainkan juga wakil-wakil rakyat yang memiliki tugas cukup berat dan tanggung jawab dunia akhirat. Yakni mereka yang nantinya akan menduduki kursi-kursi parlemen di Dewan. Baik daerah kota, kabupaten, provinsi, maupun pusat.
Selain momen penting itu, aku juga mendadak memiliki rencana kilat. Rencana trip ke kota Solo, atau sekarang bernama Surakarta. Siang itu, selepas dluhur, segera meluncurlah aku dari kota Pahlawan, dimana alamat di KTP-ku tertera. Sehingga berkonsekuensi untuk mencoblos di sana. Menuju kota kelahiranku. Kota dimana rindu berpulang dan segala cinta bermuara, Jombang. Tak sampai satu jam kuinjakkan kaki di Jombang, segera Dek Dita, mitra perjalananku kali ini yang tiada lain adik sepupuku itu sudah mengajak segera berangkat ke kota di Jawa Tengah itu.

Pukul 16.30. Aku dan Dek Dita akhirnya mendapat bus Eka patas setelah lebih dari 20 menit menunggu di depan stasiun Jombang. Finally, my trip is really go on. Selama di perjalanan, kuhabiskan waktu berbincang segala macam hal dengan dek dita. Hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 20.00. Bus kami beristirahat di sebuah rumah makan untuk makan. Sekaligus kumanfaatkan untuk ke toilet dan melangsungkan sholat maghrib dan isya’.

Kami tiba di terminal Tirtonadi kurang lebih pukul 21.30 dan masuk kamar penginapan setengah jam kemudian. Kami bersyukur tidak memiliki cukup waktu untuk sejenak berkeliling di pusat kota atau di area sekitar penginapan. Mengingat sekitar penginapan memiliki berbagai gerai yang cukup menggoda untuk kami singgah. Malam itu, kami pun beristirahat dengan cepat, lebih tepatnya aku. Karena dek dita masih lebih akhir dalam memejamkan mata hingga larut.

Satu hal yang paling berkesan dalam perjalanan kali ini adalah aku melupakan mukena dalam daftar bawaanku. Hal ini berakibat cukup fatal. Itu artinya aku harus selalu mencari tempat sholat umum. Dan aku juga tidak membawa kaos kaki. Itu artinya, ketika di penginapan aku harus sholat dengan memaksimalkan apa saja yang tersedia untuk menunaikan ibadah wajib itu. Ini cukup membuatku merasa begitu malu kepada Allah. Inilah pelajaran penting.

Keesokan harinya, selepas mandi, bersiap dan check out dari penginapan kami memulai berkelana menyusuri kota Solo. Stop point pertama kami mengendarai grab car menuju Museum Radya Pustaka. Sebelumnya telah kucari keterangannya sekilas dari internet, bahwa museum ini merupakan museum kota Solo alias Surakarta. Di dalam museum ini tersimpan berbagai peninggalan kota Solo. Baik dari zaman kerajaan hingga pasca kemerdekaan. Baik dari perabot rumah tangga hingga alat berperang dan perangkat kesenian di masa lalu.

Hal paling membuat saya tertarik dari museum ini bagiku adalah bersemayamnya dengan gagah patung Ranggawarsita di halaman depan museum. Ranggawarsita merupakan salah satu tokoh legendaris Jawa yang berkontribusi besar atas dunia sastra dan keilmuan di tanah Jawa. Berkat beliau jugalah, rakyat Jawa di masa tersebut mengenal betapa pentingnya membaca, mempelajari berbagai macam ilmu dan juga menulis. Saat kami tiba di museum Radya Pustaka, rupanya waktu buka masih kurang 20 menit, dari pukul 09.00. Maka kami putuskan untuk menyantap sarapan Dimsum yang kebetulan terletak dekat bahkan di pelataran museum. Tepat seusai santap pagi, museum pun telah dibuka. 

Kami berdua menjelajah ke dalam museum hingga tak terasa satu jam telah berlalu.
Setelah cukup puas berkeliling, kami lanjutkan perjalanan ke seberang jalan, yakni Gramedia. Toko buku terbesar di Indonesia yang berlokasi di pusat kota Solo ini memiliki gaya arsitektur yang cukup lain dan unik. Di samping masih berbau klasik dengan ornamen yang khas kerajaan jawa tengah, gedung gramedia di sini juga dilengkapi dengan ruang-ruang pertemuan yang biasa dipakai untuk acara-acara kesenian dan literasi. Kami tak ingi berlama-lama di sini sebelum benar-benar khilaf saat memandang dengan mata tergiur pada jajaran buku yang seakan melirik menggoda.

Hari semakin siang, cuaca semakin terik. Kami melanjutkan perjalanan menuju Keraton Surakarta. Inilah tujuan utama perjalanan kilat ini. Yakni mencari informasi mengenai ketersediaan informasi dan data tentang Keraton Surakarta yang tengah menjadi topik pembahasan tesisku. Sesampainya di Keraton kami membayar tiket di loket seharga Rp10.000 untuk masuk museum Keraton berkeliling. Rupanya Keraton sudah setahun terakhir ini memang tidak untuk kunjungan umum. Sehingga para wisatawan hanya bisa menikmati peninggalan-peninggalan kerajaan di area museum.

Di museum, aku sempat membeli sebuah buku kecil tentang Sekilas Sejarah Keraton Surakarta Hadiningrat seharga Rp25.000. Kemudian kami memutuskan untuk tidak menyewa guide. Namun kami memiliki siasat mengikuti rombongan yang menyewa guide dengan tidak berjarak terlalu dekat saat mereka berkeliling. Isi museum di sini hampir sama dengan Museum Radya Pustaka. Hanya saja lebih ditekankan pada segala perabot perlengkapan dan peninggalan berupa lukisan atau alat perang dan rumah tangga yang berasal dari Keraton saja. Di awal juga terdapat gambar silsilah bagaimana turun temurun garis keturunan Raja Keraton Surakarta Hadiningrat. Mulai masih bersatu dalam Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta, hingga saat ini Raja Paku Buwono XII di Surakarta.

Keterangan lebih mendetailnya tidak akan kujelaskan panjang lebar di sini, karena memang data tersebut akan lebih fokus sebagai bahan tesis. Insya Allah nantinya akan kujadikan sebuah buku. Mohon doanya semoga dilancarkan semua prosesnya. Aaamiiin. Selesai berkeliling di museum dan menyempatkan berfoto di depan Kori Kamandungan Lor beserta dua abdi Keraton yang tengah berjaga, kami beristirahat sejenak sekaligus sholat di masjid keraton. Rencananya kemudian kami akan menuju kantor dimana bisa kudapatkan informasi mengenai ketersediaan data. Namun kami sempat nyasar hingga kurang lebih 500 m ke luar gerbang keraton. Kami pun menyempatkan mengganjal perut dengan siomay, batagor, dan es kelapa muda di halaman parkir keraton yang berada tepat di depan kantor.

Perjalanan kami lanjutkan menuju Benteng Vastenburg setelah kudapat sedikit keterangan yang cukup menenangkan dari pihak penjaga kantor Keraton. Namun rupanya benteng yang merupakan bagian dari keraton ini berbeda dengan ekspektasi kita yang sepertinya akan sama dengan benteng Verdenburg di Yogya. Rupanya benteng di solo ini hanyalah sebuah benteng dengan isi sebuah halaman luas berisi ilalang yang mulai liar karena tak terawat. Benteng pun tertutup rapat dan tidak memiliki akses masuk pada wisatawan. Kami pun melanjutkan pengelanaan mencari warung tengkleng sesuai titipan bude An.
Rupanya warung yang kami maksud dari google maps berada tepat di pelataran Masjid Agung Surakarta. Tak lain merupakan bagian dari pencarianku saat itu. Kami pun memutuskan berjalan kaki saja dari benteng menuju masjid. Kurang lebih sejauh 2 km, mungkin memang tidak terlalu jauh, namun juga tidak terlalu dekat untuk ukuran kami yang perdana berkelana ke Solo. Sepanjang jalan kami sekalian menemukan penjual oleh-oleh kaos dan juga mampir sejenak ke area ‘jalan semarang’nya Solo. Di sana aku juga mendapatkan sebuah buku lagi mengenai Keraton Surakarta. Kemudian aku mengetahui bahwa buku tersebut cukup banyak dijadikan referensi utama para peneliti dalam mendalami Keraton Surakarta.

Sesampainya di Masjid Agung, sebelum mencari tepatnya warung tengkleng, kusempatkan memasuki halaman masjid untuk mengamati dan mengambil gambar secukupnya. Masjid agung Surakarta memiliki gaya arsitektur yang cukup unik. Antara gaya Eropa, China dan Jawa menjadi satu kesatuan bangunan masjid beserta segala pelengkapnya. Cerita unik pun terjadi berikutnya di warung Tengkleng. Ternyata warung tersebut benar-benar berada di halaman Masjid yang berjarak sangat dekat. Pengunjung warung begitu membludak membanjir. Aku tercekat bahkan hampir menyerah. Namun aku masih penasaran, ingin terus maju hingga dekat mas-mas yang bertugas menuangkan kuah. Akupun bertanya, apakah tengkleng ini bertahan hingga lama jika dijadikan oleh-oleh. Dia menjawab bisa, aman, dan langsung ditanya pesan berapa. Akupun menyebutkan tiga tanpa nasi. Ternyata warung ini menerapkan sistem antrean sebagaimana di dokter dengan nomor yang diambil di bagian kasir. Aku hendak mengambil antrean namun dilarang oleh mas pemberi kuah tadi.

Tak lama kemudian, ternyata pesananku telah jadi. Aku pun membayar, menerima kembalian dan langsung ngacir pergi. Dek dita yang menunggu di depan pun tercengang. Bagaimana bisa antrean segini panjang aku bisa keluar dengan waktu sangat singkat. Aku tersenyum sambil menariknya pergi menjauhi kerumunan para pengunjung sebelum mereka semua sadar dan memaki kami. Toh, aku tidak bersalah. Aku terus bersyukur, inilah rezeki.

Usai sudah pengelanaan wajib hari ini.  Aku merasa begitu puas dan bersyukur atas perjalanan istimewa ini. Sisa hari ingin kami habiskan dengan mencari kedai kopi. Namun karena keterbatasan info yang kami dapat akhirnya kami pun memutuskan berakhir mendinginkan diri di Paragon Mall. Dan disana pilihan kami bermuara di gerai kopi berpusat di Amerika yang memiliki logo perempuan dengan warna hijau itu, Starbucks. Yaa okelah, kami anggap ini adalah reward karena telah seharian bersabar mengikuti itinery yang entah serba dadakan dan syukurlah semua sukses dan lancar.
Hari mulai beranjak mendatangi senja. Kami pun memutuskan untuk segera menuju terminal. Terima kasih Solo. Perjalanan di kotamu yang singkat sungguh istimewa. Sampai jumpa di perjalanan-perjalanan berikutnya yang kuharapkan jauh lebih indah dan mengandung banyak makna. Kami memutuskan tidak lagi naik bus patas. Namun di tengah perjalanan dek dita mengalami keadaan menegangkan yang harus segera ditunaikan. Drama terjadi di Terminal Madiun. Saat dek dita bersiap turun sebentar untuk ke toilet, aku dari tempat duduk kami heboh berteriak, sempat mengira bus kami meninggalkan dek dita. Hahaha.

Begitulah perjalanan, akan selalu menyisakan cerita, baik indah, unik, maupun duka. Namun semua memang dihadirkan sebagai pengingat bahwa pentingnya sebuah perjalanan. Menghadirkan berbagai pesan di masa mendatang. Baik untuk diri sendiri atau untuk diceritakan. Terima kasih banyak Dek Dita telah menjadi teman perjalanan yang menyenangkan. Terima kasih Wik Anik atas dukungan moril dan materil selama kami di perjalanan. Terima kasih semua pihak yang telah mendukung kelancaran perjalanan kami (macam banyak sponsor aja).

Sampai jumpa di perjalanan-perjalanan indah lainnya. 😊





Komentar

Postingan Populer