Menjadi Perempuan


Menjadi perempuan memang anugerah terbesar yang sampai saat ini kusyukuri. Bagaimana tidak, istimewanya dia dan berharganya dia tak terhingga. Namun, tentu itu bukan hal yang gratis. Itu akan sebanding dengan kewajiban yang harus ia penuhi. Semenjak kecil hingga dewasa, perempuan menjadi penghias lingkungannya. Pertanyaan berikutnya, mampukah aku?

Aku terlahir dari keluarga kecil yang harmonis dan keluarga besar yang penuh perhatian. Betapa beruntungnya aku kecil waktu itu. Beranjak remaja aku semakin mampu merasakan lengkapnya anugerah hidup. Kemudian predikat dewasa pun tersandang. Rupanya tak semuanya akan berjalan mulus seperti yang aku harapkan.

Diawali dari kepergian ibuk dengan sangat cepat untuk selamanya. Kemudian kehadiran orang baru sebagai pengganti beliau yang sampai saat ini masih selalu membutuhkan penyesuaian. Peluh dan airmata tak jarang menghiasi malam-malam sendiriku. Aku dibalut dilema, berselimut renjana dan terus dibanjiri perasaan tak menentu tak juga sirna.

Semuanya terus terjadi hingga datanglah masa itu. Masa dimana perhatian keluarga besar sungguh besar adanya. Kondisi ketiadaan ibuk membuat mereka mengambil alih mewujudkan kebahagiaanku. Lagi-lagi aku merasa begitu bersyukur. Tak tahu akan seperti apa hidupku tanpa mereka semua. Dipertemukannya aku dengan seorang lelaki. Seseorang yang mereka harapkan mampu menyempurnakan separuh agamaku.

Waktu pun bergulir cepat, bulan demi bulan kulalui. Aku hanya mengikuti semua yang mereka intruksikan. Dan perasaan itu mulai tumbuh. Merasa nyaman, dilindungi, disayangi dan tentunya dicintai. Namun rupanya Allah masih ingin menguji kesabaran dan keikhlasanku. Aku tak lagi diperbolehkan melanjutkan perasaan ini. Oleh bapak hatiku dipatahkan seremuk-remuknya. Meski demikian, aku putuskan tidak akan terpuruk. Karena seberat apapun kenyataan atau ujian yang kualami, tetap kehilangan ibuk adalah sakitku yang paling terasa.

***

Semenjak itu aku tak begitu peduli dengan rasa cinta. Aku juga tak begitu memperhatikan perihal pernikahan. Masih tertancap jelas dalam ingatanku, seseorang berkata cukup menohok. Bahwa ibuk dulu menikah di usia 30. Seakan menegaskan tidak apa-apa aku tidak perlu buru-buru, toh ibuk juga menikahnya di usia tersebut. Aku tak ingin menyimpan dendam. Namun entah suara itu masih terngiang-ngiang, membayangi setiap kali aku hendak dikenalkan oleh keluarga besar pada orang baru lagi.

Sejujurnya aku muak dengan situasi ini. Saudara sepupuku juga satu per satu sudah melangsungkan pernikahan. Lalu apakah aku iri? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Mungkin iya karena dengan kondisi usiaku yang seumuran dengan mereka atau bahkan di atas mereka. Mungkin juga tidak karena sampai detik ini pun aku masih menjalani kehidupan yang sewajarnya. Aku masih punya banyak tanggung jawab yang harus diselesaikan. Aku punya kewajiban untuk sekolah, mencari ilmu dan menyelesaikan studi. Aku punya rintisan usaha yang sudah lama kuabaikan pertumbuhannya. Aku punya setumpuk kerjaan yang kudapatkan dari orang-orang terdekat. Aku punya adik-adik tempatku berbagi. Jadi untuk apa aku terlalu sedih? Aku hanya ingin mengambil jeda. Mengambil serentang jarak dengan orang-orang yang terus mengusikku dengan pertanyaan itu.

Pertanyaan itu, pertanyaan yang dihindari oleh perempuan usia 25 tahun ke atas. Pertanyaan yang selalu aktif hadir di pertemuan-pertemuan keluarga dan kolega. Pertanyaan yang tak punya hati nurani. Meski dari luar terlihat manis dan terbungkus senyum indah penuh perhatian. Pertanyaan pendek namun akan mengoyak batin seseorang dalam penantian sepanjang waktu. Wahai kalian pelontar pertanyaan itu, terpikirkah sebelumnya? Apa yang akan terjadi setelah pertanyaan itu meluncur dengan licinnya dari mulutmu.

Ya, begitulah hidup bersama orang dengan berbagai jenis latar belakang, bahasa dan daerah. Masing-masing memiliki ciri khas yang unik dan berbeda. Maka menghadapi mereka pun juga harus dengan trik yang berbeda. Tapi ketahuilah, semakin banyak kita bergaul dan berinteraksi dengan berbagai karakter yang beragam, maka akan semakin kaya kita dalam menghadapi manusia. Jadi, ndak perlu diambil pusing dong. Biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu.

Rupanya mindset ini akan ampuh dan cepat diterapkan ketika kita hidup di kota besar. Karena mayoritas orang-orang di kota akan cenderung lebih cuek terhadap kehidupan pribadi orang lain di sekitarnya. Beruntunglah kalian yang hidup di kota besar. Meski tetap berimbas pada kepekaan sosial, tentunya mereka lebih rendah kepekaannya daripada masyarakat di desa. Maka, solusinya adalah kamu harus menjalani hidup di keduanya. Di situlah mentalmu ditempa, dibanting sehingga benar-benar tegar.

Jika suatu saat kau menemukan situasi terpojok dari kedua kondisi itu, maka menyendirilah. Bukankah tidak ada yang lebih mencintai dirimu sendiri selain dirimu sendiri? Hal ini yang mungkin masih belum banyak disadari banyak orang. Bahwa serapuh-rapuhnya jiwa kita, tetap jangan sampai dia terpuruk sendiri. Hiburlah. Cari waktu benar-benar sendiri. Tanyakan padanya, apa yang sesungguhnya terjadi. Tanyakan padanya, apa yang sebenarnya ia butuhkan. Dan peluklah ia. Ini merupakan trik ampuh langkah pertama dalam menyembuhkan luka batin.

Dijamin ampuh! Tidak percaya? Buktikan.

Apakah perempuan rapuh di saat-saat tersebut? mungkin. Tapi sekali lagi menjadi perempuan tidaklah mudah. Ia dilengkapi dengan rasa gengsi yang cukup tinggi, sehingga apapun yang terjadi dalam hatinya, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap menunjukkan ekspresi kebahagiaan. Dan air mata, adalah senjata ampuhnya. Senjata ampuhnya dalam melegakan perasaan. Senjata ampuhnya untuk mengendalikan amarah. Senjata ampuhnya untuk memeluk luka dalam hatinya.

Maka menjadi perempuan sungguh tak mudah. Ditambah bombardir pertanyaan itu. Tapi, bukan berarti menjadi lelaki itu mudah. Lelaki justru mengemban amanah yang jauh lebih berat. Lelaki menjadi pemimpin, bahkan dari lingkungan yang terkecil pun. Dan lelaki, akan diharapkan selalu bertanggungjawab atas semua yang dipimpinnya.

Pada akhirnya, perempuan memang manusia istimewa, unik dan luar biasa. Ia indah namun rapuh. Ia tegar namun sensitif. Ia istimewa di manapun berada. Maka hargai perempuan. Junjung tinggi martabatnya. Karena tanpanya kau takkan dilahirkan di dunia.

Komentar

Postingan Populer