Hati Suhita, Hati Perempuan Tersandera



Hati perempuan, lebih sulit ditebak ketimbang teka-teki tersulit di manapun. Apa yang tersurat di wajahnya, yang tersirat di hatinya dan apa yang keluar dari mulutnya seringkali berbeda semua. Maka mana yang harus dipercaya? Memperlakukan perempuan pun harus dengan sangat hati-hati. Diperlakukan dengan begitu halus membuatnya terlena dalam manja, namun diperlakukan dengan terlalu tegas juga membuatnya keras bahkan mungkin terluka.

Perempuan tidak bisa didiamkan terlalu lama, namun juga tidak bisa diberi kebebasan yang berlebih. Memperlakukannya bagaikan bermain layang-layang, harus memahami angina tau situasi hatinya. Sedang memainkannnya dengan ditarik ulur, ditarik untuk dikekang kemudian di suatu waktu juga perlu diulur, yakni diberi kebebasan dalam berekspresi. Dalam situasi apapun, perempuan punya cara-cara tersendiri untuk bertahan dan menemukan jati dirinya.

Suhita, seorang perempuan priyayi, dengan segala kelebihannya. Situasi kondisi dan latar belakang kehidupan menempanya menjadi perempuan yang begitu sempurna. Seorang putri kyai besar yang telah disiapkan jodohnya dengan seorang keturunan kyai besar juga. Persahabatan orangtuanya membuatnya terjebak dalam situasi yang serba simalakama. Di situlah lahir ikhlas terdalam dari suara hati seorang perempuan dengan segala keterbatasannya.

Rengganis, seorang perempuan modern, dengan segala aktivitas padat dalam kesehariannya. Paras cantik, keluhuran budi pekerti serta kecerdasannya menyempurnakan sosoknya sebagai perempuan masa kini. Namun siapa mengira, di balik senyum manisnya, tersimpan dalamnya perih seseorang yang kehilangan penguat hidupnya. Sudah sekian purnama ia lewati dengan memendam luka yang tak kunjung perih. Lantaran sang kekasih menjadi milik perempuan lain.

Gus Birru, tokoh utama lelaki dalam romansa ini begitu tergambar sempurna. Atau memang ia dituntut sempurna oleh situasi dan keluarga. Sedang apa yang tersirat dalam hatinya, ia begitu tertekan. Dalam istana besar pesantren orangtuanya, ialah tumpuan harapan abah ummi sebagai penerus tombak kepemimpinan. Namun sebagai seorang mahasiswa yang tumbuh dan berkembang di hiruk pikuk jalan raya dan pekik jerit suara kemanusiaan. Ia merasa rumah hanya sebagai penjara dalam pandangnya.

Cerita dalam novel ini sederhananya menyiratkan sebuah Cinta segitiga. Di saat Gus Birru harus menikah dengan Suhita karena perjanjian perjodohan orangtua. Sedangkan Gus Birru belum bisa menghilangkan perasaannya kepada kekasihnya semasa kuliah di Yogyakarta, Rengganis. Suhita dengan kesabaran yang menjulang untuk senantiasa menanti gunung es pada suaminya meleleh. Rengganis dengan keperihan hatinya menahan rasa sakit lantaran ditinggalkan kekasih menikah. Dan Gus Birru dengan hati simalakamanya, antara ingin segera belajar mencintai istri sahnya, tetapi masih tertahan besarnya cinta dan harapan pada kekasih yang telah dipupuk sekian tahun.

Hari-hari panjang terlewati dengan begitu panjang dan melelehkan. Malam-malam dingin yang sepi dan mencekam meliputi suasana kamar Suhita dan Gus Birru. Di sinilah perempuan dipertaruhkan harga dirinya. Perempuan diuji nyali kesabarannya, dan diteguhkan pendirian hatinya. Namun Suhita tetaplah Suhita, perempuan dengan naluri alamiahnya sebagai manusia.

“Tapi aku tidak boleh larut dalam tangis. Namaku Alina Suhita. Suhita adalah nama pemberian kakek dari ibuku. Ia ingin aku seperti Dewi Suhita. Perempuan tangguh yang pernah memimpin kerajaan sebesar Majapahit. Perempuan hebat yang tegar walau di masa kepemimpinannya ada perang Paregreg yang memilukan itu.”Cuplikan suara hati Suhita dalam halaman 4.

Tujuh bulan berlalu dengan panjang dan sia-sia. Dan hatinya telah mencapai pada titik habisnya kesabaran. Keluarlah harimau betina dalam dirinya. Satu demi satu kenyataan yang tersembunyi mulai mencuat ke permukaan. Dan kesunyian di bilik istana itu telah mencapai titik kejenuhan.

Buku karya Khilma Anis ini berhasil mengoyak hati ribuan pembaca melalui laman sosial media facebook melalui 14 bab awal dari novel ini. Sehingga kehadiran utuhnya begitu dinantikan oleh masyarakat seantero pesantren di Indonesia. Banyak di antara pembaca merasa tersanjung, merasa dirinyalah yang diceritakan dalam kisah tersebut, atau teman maupun saudaranya. Beginilah tipikal cerita yang dibuat begitu serius dan mendalam oleh penulis. Sehingga pembaca merasa begitu dekat dengan para tokoh dan alur ceritanya.

Buku berjumlah 405 halaman ini menyuguhkan cerita yang sederhana, dekat dengan kehidupan sehari-hari keluarga pesantren. Namun dengan bahasa penghayatan yang mendalam menjadikannya begitu dinanti-nanti oleh pembaca dengan segmentasi tersebut. sehingga begitu tepat sasaran. Ditambah dengan keterangan filosofi karakter para tokoh dan situasi yang menimpa mereka dalam konflik yang didominasi dengan konflik batin.

Dari cerita ini memberikan pelajaran berharga, tentang bagaimana seharusnya perempuan bersikap dan berperilaku. Dalam rumah tangganya, dalam keluarga suaminya, hingga dalam masyarakatnya. Bagaimana ia menjaga harga dirinya, kesuciannya, harga diri suami dan keluarga besarnya. Gejolak batin yang begitu riuh dalam hatinya mungkin mampu ia sembunyikan di hadapan orangtua dan para santri atau masyarakat umum. Namun ia akan berpasrah pada basah air mata di malam-malam kelamnya.

Namun, tidak hanya itu. Ketahanan seorang Rengganis sebagai perempuan masa kini dengan kecerdasannya juga memberikan sosok teladan yang tak kalah penting, khususnya pada perempuan-perempuan aktif di dunia modern saat ini. Sikap dan pembawaan Rengganis ini merupakan figur idaman semua lelaki. Jika tidak diimbangi dengan kerendahan hati dan kesungguhan keyakinan diri maka takkan mampu menyelesaikan segala hiruk pikuk permasalahan yang dialami.

Konflik dalam cerita ini begitu nyata. Namun ajaibnya, sama sekali tidak melahirkan tokoh antagonis. Semua tokoh di dalamnya sama sekali tak menimbulkan sentimentil bahkan kebencian atasnya. Melainkan situasi yang terjadilah yang antagonis. Tak ada seorang perempuan di muka bumi ini bermimpi menjadi Suhita dengan situasi dingin yang ia alami saat ini. Juga tak ingin seorangpun menjadi Rengganis, meranggas dalam perihnya patah hati. Pun tak seorang lelaki ingin ada di posisi Gus Birru dengan buah simalakamanya.

Lalu bagaimana akhir dari kisah mengharubirukan ini? Akankah ketiga tokoh utama menemukan kebahagiaan? Tanpa mengorbankan tangis air mata salah satu lainnya. Akankah berakhir adil untuk semua pihak? Atau menjadi kejam untuk sepihak. Akankah menjadi jalan keluar yang terbentang lebar untuk semua? Atau menjadi benang kusut yang tak kunjung terurai entah hingga kapan. Begitulah hidup, adakalanya Tuhan memberi banyak pertanyaan tanpa memberi satupun petunjuk kecil sebagai jawaban. Atau terpapar begitu banyak situasi gamblang, namun menjadi penghambat bagi pihak lain, yang seharusnya kita utamakan.

Keistimewaan tambahan dalam cerita ini ada pada sisipan pesan dan filosofi hidup berdasarkan kisah perwayangan Jawa. Sehingga membuat pembaca mendapatkan nilai lebih ketika membaca novel ini. Tidak hanya dalam ke’baper’an alurnya saja, tetapi juga mendapatkan pengetahuan baru tentang kisah-kisah wayang dalam Jawa sekaligus pesan-pesan moral yang dibawakan.

Komentar

Postingan Populer