Jeritan Tertahan


Ini berbicara tentang jeritan hati yang terlalu menyayat. Bergelimang dosa dan perih luka-luka basah yang disiram alkohol. Kiranya seperti itu nyerinya.

Aku telah lama sekali pergi, tak kunjung kembali. Tak juga sekadar menengok untuk memastikan semuanya baik-baik saja. Karena rupanya diriku memang tengah tak baik-baik saja. Aku sedang terlunta dalam pengembaraan tak berujung. Sepi yang merongrong seisi batin membuatku semakin menderita.

Aku telah lama berjalan, juga berlari. Tanpa sedikit pun berbalik. Aku sedang menahan luka. Semakin hari kudiamkan, namun bukannya dia menghilang, dia kian meradang. Ada nyeri yang miris. Kulukiskan senyum terindah namun menganga lara di bilik dada.

Rupanya aku tak sedang pergi. Aku masih di sini. Bersama luka yang tak kunjung kutemu obatnya. Bersama perih yang justru tersiram cuka. Aku menutup semua pintu, dimana pada waktu yang sama aku bersusah payah membukanya. Ototku tak cukup kekar mendorong, untuk senantiasa terbuka.
Sakit yang tertahan kata orang akan disembuhkan oleh waktu yang bergulir. Namun itu tak berlaku untukku. Bagiku, waktu tak ayalnya hanya membantu meronceng tirai-tirai kesedihan dan kepedihan. Topeng terus dibangun untuk menjadikan semuanya baik-baik saja.

Mungkin aku lupa, topengku tak cukup samar untuk memandang diriku sendiri. Terlalu muak aku melihatnya, tersenyum berbincang, sesekali memberi nasehat pada sesama. Munafik! Segitu kerasnya dunia sandiwara. Bahkan pada kotoran kukumu pun kau berlagak tak ada apa-apa.

Aku manusia kotor. Hina. Berjelaga. Lelah aku bersandiwara, tapi tak kuasa ku melepas topengnya. Hidup ini terlalu banyak pura-pura. Andai aku bisa terbang ke angkasa. Takkan kutemui lagi tipu daya manusia. Angkara murka antar sesama. Ah, ternyata aku masih tak kuasa, mengendalikan ini semua.

Komentar

Postingan Populer