Jeritan Tertahan

Aku telah
lama sekali pergi, tak kunjung kembali. Tak juga sekadar menengok untuk
memastikan semuanya baik-baik saja. Karena rupanya diriku memang tengah tak
baik-baik saja. Aku sedang terlunta dalam pengembaraan tak berujung. Sepi yang
merongrong seisi batin membuatku semakin menderita.
Aku telah
lama berjalan, juga berlari. Tanpa sedikit pun berbalik. Aku sedang menahan
luka. Semakin hari kudiamkan, namun bukannya dia menghilang, dia kian meradang.
Ada nyeri yang miris. Kulukiskan senyum terindah namun menganga lara di bilik
dada.
Rupanya aku
tak sedang pergi. Aku masih di sini. Bersama luka yang tak kunjung kutemu
obatnya. Bersama perih yang justru tersiram cuka. Aku menutup semua pintu,
dimana pada waktu yang sama aku bersusah payah membukanya. Ototku tak cukup
kekar mendorong, untuk senantiasa terbuka.
Sakit yang
tertahan kata orang akan disembuhkan oleh waktu yang bergulir. Namun itu tak
berlaku untukku. Bagiku, waktu tak ayalnya hanya membantu meronceng tirai-tirai
kesedihan dan kepedihan. Topeng terus dibangun untuk menjadikan semuanya
baik-baik saja.
Mungkin aku
lupa, topengku tak cukup samar untuk memandang diriku sendiri. Terlalu muak aku
melihatnya, tersenyum berbincang, sesekali memberi nasehat pada sesama.
Munafik! Segitu kerasnya dunia sandiwara. Bahkan pada kotoran kukumu pun kau
berlagak tak ada apa-apa.
Komentar
Posting Komentar