Kapan Aku Jatuh Cinta Lagi?

Kapan Aku Jatuh Cinta (lagi)?

Kehidupan terus berlanjut. Manusia datang dan pergi. Terkadang menghampiri jika ada perlu, pula berpaling jika telah menyinggung hati. Terbuat dari apa hati ini, begitu lemah dan rapuh. Begitu retak sulit disatukan lagi, begitu tercerai sukar dilekatkan kembali. Ah, namanya juga hati manusia. Tak ada sempurnanya. Sensitif lapuknya, rentan jatuhnya.

Jatuh? Bagaimana sebuah hati bisa jatuh. Sedang letaknya saja terselubung di balik rongga, tulang dan otot hangat melingkupi. Namun ini betul adanya. Sebuah hati tak perlu keluar dari rumahnya untuk jatuh. Tak perlu tergoncang terlalu keras pula. Sedangkan yang perlu dikhawatirkan itu akibatnya. Seperti apa hati yang telah jatuh. Sedang yang menangkapnya bukan sesuatu yang masuk logika.

Begitu uniknya Tuhan mencipta. Dari hati timbul semua rasa. Termasuk dorongan untuk terus berkarya. Menulis dan lain-lainnya. Lalu bagaimana jika dorongan itu tiba-tiba hilang. Raib entah kemana. Tak lagi ada dan tak tahu harus dicari kemana. Setelah sekian waktu direnungkan dan didalami. Apa penyebab hilangnya rasa itu. Rupanya bisa disimpulkan. Hati telah lama tak jatuh.

Aku sudah beberapa lama ini kehilangan nafsu. Nafsu untuk menulis. Nafsu untuk berimajinasi. Nafsu untuk berkarya. Jawaban utama tentunya adalah malas. Oh tidak, aku tidak akan mengambinghitamkan malas 100 persen di sini. Ada kambing hitam lain yang bisa dipasang. Dan mungkin ini yang lebih mendekati kebenaran. Aku kehilangan alasan. Aku kehilangan semangat untuk menulis. Sedihnya aku masih menggemborkan diri sebagai penulis. Manusia macam apa aku ini.

Kembali mencoba kuingat-ingat, apakah yang dulu membuatku sangat senang menulis. Ternyata luka, diantaranya. Aku dulu senang menulis saat aku terluka. Kurasakan sampai saat ini pun aku masih kerap terluka, hanya saja aku tak lagi terlalu merasakan luka itu. Aku menganggapnya senjata. Juga asupan kekuatan penuh. Agar aku lebih tegar, kuat dan mampu melanjutkan hidup begitu sempurna. Apa adanya.

Aku bukan penulis hebat, aku belum juga melahirkan satu buku pun. Hingga detik ini, hingga detik tulisan ini kubuat. Lalu aku masih berkoar-koar sebagai penulis? MEMALUKAN! Aku gemar menyuruh orang untuk menulis, untuk berkarya. Tapi aku sendiri nihil. Tak berkarya, selain karena dipaksa. Tak berpenghasilan, selain karena diminta. Ini yang namanya penulis?

Aku jadi rindu jatuh cinta. Jatuh cinta membuatku hidup. Jatuh cinta membuatku menulis. Jatuh cinta membuatku ada. Dan jatuh cinta membuatku sempurna. Tapi apakah itu benar adanya? Hanya jatuh cinta semu atau nafsu belaka? Memangnya bedanya apa ya. Ketika jatuh cinta seluruh kata terasa meluncur deras di kepala. Tanpa dipancing secara deras mengalir.

Ketika aku jatuh cinta, aku merasa ada. Karena ada percik-percik yang menyala di dalam hati. Segalanya terasa indah dan bersemi.

Namun, apakah ketika aku sendiri aku merasa hampa? Bisa jadi begitu. Tapi tentunya tidak bisa menjadi alasan untuk tidak berkarya kan? Harusnya sih begitu. Tapi kenyataannya tidak. Aku mati dalam berkarya. Aku kedap dalam beraksara. Aku hening dalam tulis menulis. Tersisa batinku yang tertekan, tersisa hatiku yang sepi, dan lelah yang berkepanjangan. Lelah mencari kambing hitam.

Intinya, saat ini aku tak punya alasan. Untuk menjadi pemicu dalam menulis. Aku mati sebelum hidup. Tiap kali terbangun membuka mata semua hampa. Kosong tanpa arah. Ditambah situasi yang serba entah. Semuanya senyap dan tak ada letupan yang memancing percik menyala. Ternyata aku masih lemah, sangat lemah dari segala kelemahan dunia. Untuk bangkit saja butuh pemicu. Mungkin jika kendaraan bermotor, aku ini bak kehabisan bensin, aki, dan juga oli. Tapi mesin tidak berkarat kok. Semoga.

Aku kehilangan nyali untuk tumbuh. Aku terbungkam alasan-alasan yang kupupuk dengan kemalasan. Semakin lengkap dengan situasi yang mencekam.

Apa sebaiknya aku jatuh cinta lagi? Supaya segala terasa indah. Sehingga tergerak untuk menulis lagi. Apa sebaiknya letupan-letupan itu dicari? Tapi kemana harus dicari? Jika kehadirannya saja aku sama sekali tak menduga. Aku lelah dengan kambing hitam yang berkeliaran. Berlarian di kelana kepalaku. Saling menuduh dan menjatuhkan, kemudian saling membunuh. Padahal antar mereka saling butuh.

Tanpa kusadari, aku telah menulis, cukup banyak. Yeay! Terima kasih, sepertinya aku harus segera memastikan kambing-kambing hitam di kepalaku mati dan enyah. Supaya aku segera menulis lagi. Tanpa harus mencari jawaban dari Kapan Aku Jatuh Cinta Lagi?

Komentar

Postingan Populer