Bolehkah kita berpikir tentang kemungkinan terburuk?

Sejak kecil, seluruh hidupku telah ditata sedemikian rupa oleh bapak. Hingga sampai detik ini aku tak mengenal apa makna pilihan. Aku tak mengerti apa yang harus kupilih, keputusan apa yang kuambil dan jalur mana yang kutempuh. Rasanya semua telah digariskan oleh beliau. Aku yakin dan percaya seutuhnya bahwa Allah telah menakdirkan ini semua padaku, pada kedua orangtuaku, juga pada adik-adikku. Tapi yang kini aku tak mengerti, jika ada beberapa temanku yang diperbolehkan memilih jalan hidupnya sendiri oleh orangtuanya, apakah sejatinya aku juga punya hak itu? Lalu apakah aku juga sebenarnya punya kemungkinan terburuk yang bisa saja menghantuiku di masa depan.
Bicara tentang waktu, memang tak seharusnya kita menoleh ke belakang, apalagi menyesali apa yang telah terjadi pada diri kita. Namun apa salahnya jika semua itu semata sebagai pelajaran yang tak ternilai harganya, secara cuma-cuma diberikan oleh Allah. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia menyikapi itu semua sebagai garis indah yang luar biasa. Aku tak hentinya bersyukur atas semua yang telah terjadi padaku sampai detik ini, pun sama halnya aku tak hentinya terkagum, rupanya sebegini adanya liku-liku perjalanan hidupku. Kini kusadari betul, hidup adalah tak ubahnya sebuah penerimaan sejati.
Lalu bagaimana tentang kemungkinan terburuk? Bukankah dalam hidup ini tersaji berbagai macam kemungkinan, begitu banyak dan beragam. Tentu lengkap dengan konsekuensi yang terikat di baliknya. Takkan bisa lepas dari itu. Tapi benarkah kita manusia akan mengalami kemungkinan itu? Aku banyak mendengar dari mereka, bahwa apapun yang terjadi pada kita, takdir apapun yang dipilihkan Allah pada kita, itulah yang terbaik. Jadi, kemungkinan terburuk itu, tidak ada? Atau pandangan baik buruk itu kembali pada masing-masing penilaian diri kita dan nafsu serta kesenangan yang kita pasang di pikiran dan hati kita?

Entahlah, yang jelas sampai detik ini aku belum sanggup menghilangkan bayang-bayang kemungkinan terburuk itu hinggap dalam otakku. Tentu, aku manusia biasa. Masih punya nafsu dan akal, jadi kemungkinan buruk itu masih ada pada bayang-bayangku, meski aku akan berupaya menjadikannya sebagai pilihan terbaik jika sewaktu-waktu ternyata aku mendapatkannya.

Komentar

Postingan Populer