Tak Sekadar Rasa ; Mengenal Angga Sasongko



Sudah sejak lama aku mengamati dunia seni, setelah sekian lama menggelutinya juga. Meski tak sedalam yang ada secara keseluruhan sebagai sebuah keindahan, perlahan aku mengenalnya dari dunia literasi, sastra, dan tentunya alatnya adalah buku. Rasa canduku pada buku membuatku tenggelam dalam dunia aksara, imajinasi, dan keindahan. Kemudian didukung dengan kehidupan perguruan tinggi di arsitektur membuat jiwa seni itu perlahan semakin tumbuh lekat dan kuat. Belakangan ini, dunia perfilman juga mulai menarik perhatianku, bermula dari harapan bergabung teater yang belum jua tercapai karena terhalang izin orangtua untuk mengikuti rangkaian kegiatannya hingga larut malam. Namun aku tak pantang menyerah, sebagai penggila film, aku sangat condong pada film-film romance yang kata orang terkesan menye-menye, ah aku tak peduli, semua tentang selera bukan.
Ibu suri Dewi Lestari, seorang penulis yang tulisannya sudah kuikuti sejak aku masih SMA, atau bahkan SMP ya? Dari sekian karya beliau yang membuatku sangat terpukau adalah Filosofi Kopi, ah aku masih sangat sedih jika mengingat bukuku itu sampai detik ini belum kembali ke pangkuan, entah dipinjam siapa tak jua pulang. Belum selesai girangnya pada sepotong cerita pendek yang maha dahsyat tersebut datanglah berita bahwa cerita tersebut akan diangkat menjadi film, alangkah hebohnya aku kala itu. Namun sayang sekali waktu tayangnya di bioskop tak berjodoh denganku, hingga aku tak sempat menontonnya dengan layar raksasa tersebut. Tak masalah, toh kini aku sudah punya filenya.
Di situlah aku mulai pengagumanku pada sosok Angga Dwimas Sasongko, seorang sineas muda, sutradara, masih cukup muda, namun karyanya yang selalu dahsyat luar biasa. aku mengenalnya pertama ketika debutnya di filosofi kopi, begitu menggemaskan melihatnya meramu adegan demi adegan potongan gambar, gerak, dan musik dalam kesatuan film yang sempurna! Sempat membuatku tertarik banyak mengintip ilmu perfilman, yaa meskipun nggak lama, maklum lebih banyak galau mikirin tugas yang nggak kelar-kelar. Juga penelusuranku pada semua karya yang berkaitan dengannya, seperti mencari film-film beliau sebelum filosofi kopi. Surat dari praha, meski sampai detik ini aku belum dapatkan filmnya, setidaknya aku telah menghabiskan semua episode wawancara dia oleh media manapun di youtube. Hingga mendorongku untuk mencari buku Surat dari Praha karya Yusri Fajar dan menjawab novel Pulang karya Leila S Chudori waktu ditanya sahabat ingin hadiah apa. Itu semua tiada lain karena dia, seorang lelaki beristri mbak anggia charisma dan papa dari si imut rigel.
Ah, aku begitu bersyukur atas adanya sosial media bernama instagram, ia semakin menyempurnakan penelusuranku tentang sosok sutradara berambut gondrong itu. Setiap hari kuikuti setiap apa yang dia unggah di sana, aku masih sangat ingat juga saat awal-awal adanya fitur live di instagram, waktu dia live aku dengan begitu bersemangat hadir dan sesekali berkomentar, meski lebih banyak diabaikan. Maklum lah ya penggemarnya kan bukan Cuma aku. Sampai detik di tergila-gilanya pada sosok kurus tidak terlalu tinggi dibanding Rio dan Chicco itu aku tersadar, sebenarnya aku masih punya penulis idola nggak ya? Dan aku tidak bisa menjawabnya. Dulu aku penggemar berat bunda Pipiet Senja. Tapi bagaimana pun manusia tetaplah manusia. Biasa dan tak luput dari khilaf, aku pun manusia biasa, memandang juga dengan cara manusia. Jadi perlahan rasa yang dulu menggebu perlahan pun surut.  Dengan sang sutradara ini pun aku sadar penuh bahwa aku tidak boleh terlalu berlebihan, nanti akan ada masanya aku merasa sangat muak bahkan benci. Maka, sebelum terjadi hal itu, aku kini lebih antisipasi dengan mengendalikannya sendiri terlebih dahulu.
Oke, cukup untuk mas Angga. Mari kita beralih ke inti yang akan kita bicarakan, yakni Filosofi Kopi 2.
Saya menilai Filosofi Kopi ini adalah sebuah karya seni murni. Dalam artian tanpa ada unsur komersil yang lebih ditekankan. Tapi itulah keistimewaan Angga, berpartner dengan sang istri tercinta sebagai produser dalam naungan rumah produksi garapan sendiri pula, yakni Visinema Pictures. Dia selalu menyuguhkan karya dengan latar belakang yang sangat dekat dengan perasaan, dengan intuisi murni seorang seniman yang begitu mencintai proses berkaryanya. Dan itu mampu saya rasakan secara utuh pada setiap film yang ia lahirkan. Itu yang membuat sudut pandangku pada Filosofi Kopi ini menjadi sangat mengharu-biru. Biarlah, setiap orang kan bebas berinterpretasi.
Rangkaian yang begitu sempurna! Baca cerpennya aja sudah bikin nyes, apalagi disuguhkan dalam bentuk film yang nggak kalah nendang! Angga adalah salah satu sutradara yang begitu selektif dalam memilih apapun dalam proses karyanya. Hal ini merupakan sebuah idealism yang patut dipertahankan dalam jiwa seorang seniman. Kesempurnaan yang ia idamkan menjadikan buah karyanya semakin terasa dekat dengan para penikmatnya.
Kopi. Sebuah minuman yang begitu dekat dengan manusia, khususnya masyarakat Indonesia. Sebagai penghasil biji kopi yang subur dengan kondisi alam yang begitu beragam sehingga menghasilkan berbagai macam biji kopi yang didamba setiap penggila kopi yang singgah, baik turis maupun masyarakat pribumi. Ide dewi lestari yang begitu cemerlang ini bersambut gayung oleh ke’tidakbisadiam’an angga dan anggia, sehingga lahirlah filosofi kopi. Membuat orang menjadi lebih mencintai kopi, menghargai petani kopi, betah berlama-lama duduk diam menghirup aroma kopi dalam-dalam dan membiarkan pikiran berkelana sedang buih-buih kopi berserakan di sepanjang garis bibirnya.
Dalam filosofi kopi 2 ini konflik yang muncul ada mungkin terkesan standar, jika tidak didukung oleh latar tempat dan suasana yang begitu hanyut. Merupakan sebuah keniscayaan bahwa dalam membangun sebuah usaha dengan seorang teman tentu akan selalu ada perbedaan, perbedaan pendapat, perbedaan mimpi dan juga ambisi. Tapi di situlah rasa kita diuji, apa pentingnya ego dan emosi sesaat dibanding perjalanan panjang yang sudah ditempuh bersama, segala waktu dan pikiran yang sudah tertuang bersama-sama. Seperti halnya soundtrack terakhir yang dipakai, yakni Sahabat Sejati. Debut Sheila on 7 ini begitu menyentuh dan sesuai dengan situasi dalam konflik filosofi kopi 2 ini. Antara dendam yang sejatinya hanya membuang-buang tenaga dengan masa depan yang jauh lebih penting untuk dipikirkan akan membuka mata, seperti apakah sahabat sejatimu? Dan kembali berkaca seperti apakah diri kita sehingga butuh sahabat seperti apakah kita ini?
Adegan demi adegan tertata begitu ciamik dan mengalir begitu natural, sehingga film yang berdurasi hanya 108 menit ini terasa sangat panjang dan penonton terbawa begitu hanyut. Film yang bagus adalah film yang memberikan bekas mendalam pada benak penontonnya, lebih hebat lagi mampu menginspirasi penontonnya berbuat sesuatu yang bermanfaat, entah untuk diri sendiri ataupun orang di sekitarnya. Bagi saya pribadi, film filosofi kopi telah memberikan banyak pelajaran. Diantaranya adalah untuk menghargai segala sesuatu sesuai porsinya. Lihatlah kopi yang kita minum, pernahkah terbersit bagaimana usaha si petani dari mulai menanam benih, merawat membesarkannya hingga matang. Kemudian jasa sang roastery dalam menyangrai kopi, dari green bean jadi roast been. Tanpa keahlian khusus, rasa nikmat takkan sampai di lidah kita dengan sempurna. Maka marilah kita mulai hargai semua itu. Karena sesungguhnya setiap yang memiliki rasa itu memiliki nyawa. Ucapkan terima kasih padanya, juga pada semua orang yang ada di balik kenikmatannya.
Penonton filosofi kopi tidak semua penggila kopi, aku contohnya. Aku terbilang tidak terlalu menggilai kopi. Tapi semenjak aku membaca dan menonton filosofi kopi entah dengan sendirinya aku terdorong untuk belajar lebih banyak tentang dunia kopi. Memiliki kesenangan tidak ada yang salah, perbedaan juga niscaya, tinggal bagaimana kita mengendalikan semua itu sesuai porsinya masing-masing. Sehingga tidak ada yang berlebihan dan merasa disia-sia. Begitu pula nilai persahabatan yang ditanamkan oleh Angga dalam film terbarunya ini. Ben seorang barista, dengan sepenuh jiwanya ia ingin seduhan kopi dari tangannya dapat dengan sempurna sampai di seluruh customernya. Adapun Jodi, seseorang dengan ilmu wirausahanya tak berhenti memutar otak bagaimana supaya usahanya selalu mendapatkan keuntungan dari hari ke hari. Mereka berdua memiliki sifat yang cukup kontras, tetapi lalu apakah membuat filosofi kopi hancur? Tidak. Justru dari inovasi perselisihan dan sedikit pertengkaran yang sangat sering terjadi itulah, filosofi kopi bertahan dengan khas sebagai wajah karakter mereka berdua.
Terima kasih mas Angga. Teruslah berkarya dan menginspirasi kita semua. Aku tunggu Wiro Sableng nya!

Komentar

Postingan Populer