Menyusuri Semu Pipi Khumaira

Sebelum kuceritakan tentang ekspresi mukaku, ketika membaca puisi-puisi dalam buku ini, kupesankan bahwa ketika membaca buku ini tak perlu harus bersanding kamus tebal baku bahasa Indonesia, tidak harus berbekal buku pedoman Ejaan Bahasa Indonesia, namun yang perlu dipersiapkan adalah jejak-jejak ingatan, peraman kenangan yang telah terawat, dan kepekaan terhadap hal-hal penting maupun remeh di sekitar hidupmu, dari waktu ke waktu.

Baiklah, buku ini berjudul Khumaira, buah karya paman saya, beliau suami dari adik sepupunya ibuk saya. Maka jelas sudah beliau paklek saya. Sudah beberapa waktu lalu, semenjak ibuk masih sugeng, sempat terdengar cerita dari beliau padaku, tentang kelihaiannya meramu aksara dan diksi, tentang jelitanya mengurai rasa, tentang indahnya dunia dari buah penanya. Jika boleh kuceritakan pada Ibuk, inilah hidup pada sejatinya.

Terkadang banyak disebutkan bahwa membaca sebuah karya tulis sama halnya​ dengan membaca pemikiran penulisnya. Tapi untuk sastra, aku boleh menyangkalnya, karena membaca karya sastra, atau lebih tepatnya membaca puisi, berarti membaca kehidupan. Mungkin terbantu dengan kacamata penulis, atau juga lingkungan hidupnya. Begitu juga dengan membaca Khumaira, berarti membaca Dunia dan kehidupan dengan kacamata Paklek Chamim.

Kumpulan puisi berjudul Khumaira ini berjumlah 90 puisi yang terbagi pada 10 bab, yang mana semua bab ini juga mengarahkan​ pembaca pada pilar-pilar kehidupan nyata, dan mayoritas juga dialami dan dipikirkan oleh semua orang secara umum. Diksi-diksi yang dipakai Paklek Chamim ini cukup dekat dengan telinga masyarakat, dengan orang awam, melalui bahasa-bahasa harian, bahasa daerah setempat, khususnya di Jawa timur ini. Contohnya ada puisi yang mengandung 'kowah kowoh', 'pating plencing', dan banyak lainnya.

Hampir semua puisi yang beliau tulis pada tahun 2003 yang terkumpul di buku cetakan tahun 2015 ini pasti telah mengalami pengendapan yang cukup dalam, dan tentunya mengandung nasihat dan amanat yang menyentuh langsung jiwa dan badan pembaca. Bagaimana tidak​? Ada beberapa puisi yang langsung menyentil hal-hal paling mendasar dalam diri manusia, pada organ tubuh, kebutuhan primer, dan juga perkara-perkara kecil yang terkadang sering terlupakan dari benak manusia.

Ada salah satu puisi yang sangat menggelitik pikiran dan batinku, berjudul Sebaiknya :

Sebaiknya

Orang-orang timur
Berlari berkejaran
Mendekap Tuhan
Sampai lupa dunia
Tak bisa apa-apa
Orang-orang barat
Pergi secepat kilat
Melompati awan
Meninggalkan Tuhan
Menjelajahi semesta
Ujung-ujungnya blingsatan
Tidak tahu tujuan
Kemana akhir berjalan

Timur dan barat
Sebaiknya berjabat tangan
Bercakap-cakap
Berkawan akrab
Saling menjaga
Saling menguatkan

Jerukmacan, 6 Mei 2003

Dalam puisi ini aku merasa ada kejujuran yang tak dibuat-buat, ketulusan mata batin dalam menerjemahkan situasi. Inspirasi yang muncul di belakang puisi ini mungkin terbaca jelas jika​ membacanya sekilas. Tapi sesungguhnya jika kita luangkan waktu lebih lama dalam merenung, berpikir lebih jernih dan luas, sejatinya istilah timur dan barat dalam puisi dapat ditafsirkan dalam banyak hal. Dengan puisi ini juga kita diajak untuk lebih melek, lebih awas pada perkembangan​ dunia, lebih perhatian pada sekeliling kita.

Judul Khumaira pada buku ini menjadikan daya tarik yang kuat. Entah kenapa semua hal yang berdekatan dengan perempuan menjadi jauh lebih indah dan memikat, lebih cantik dan mengundang lirikan maut. Meski demikian, judul ini tidak lagi semerta-merta memberikan pemahaman pada keseluruhan puisi di dalamnya. Meski memang kekuatan puisi berjudul Khumaira memiliki sihir yang cukup kuat, bersanding dengan puisi Rindu. Di sinilah gejolak rasa sang penyair terasa sangat dalam. Meski demikian, puluhan puisi lainnya melengkapi sosok 'Khumaira' dengan pesona yang sama-sama memikat dan sama indahnya. Beberapa detik kening berkerut, sejurus kemudian meluap-luap, dan tak lama kemudian tersipu malu seperti tengah dirayu. Begitulah cinta diramu penyair.

Hingga detik kutuliskan sedikit uraian ini​, aku masih belum juga diantar takdir untuk memenuhi utusan beliau untuk sowan ke ndalem, insya Allah dalam waktu dekat, ingin segera kulangkahkan kaki di bumi Jerukmacan tercinta tersebut. Terima kasih atas hadiah istimewa ini, atas puisi yang paklek bacakan di Nyepi siang hari kala itu. Terima kasih atas perhatian dan kasih sayang paklek pada keponakan yang masih terus tertatih dalam belajar dan masih sangat butuh tuntunan ini. Semoga paklek senantiasa diberi kesehatan lahir dan batin, sehingga senantiasa basah pula pena paklek, senantiasa penuh pula carik-carik kertas putih yang siap paklek hiasi dengan aksara dan bahasa, yang takkan punah tergerus masa.

Komentar

Postingan Populer