Berkelana di Bumi Para Wali
Di antara poin penting dalam unsur intrinsik sebuah cerita fiksi adalah setting, baik waktu, tempat, ataupun suasana. Di novel Langit Cinta di Negeri Balqis ini, kekuatan setting tempat menjadi kunci utama dalam ceritanya. Mas Adly sebagai penulis telah menunjukkan bahwa sebuah setting atau latar tempat bukanlah hanya sebagai pelengkap. Akan tetapi justru kisah ini lahir dari tempat tersebut, yakni tiada lain adalah sebuah Negara yang tidak diragukan lagi pengaruhnya dalam sepak terjang perkembangan dunia Islam, para ulama, dan sumber ilmu yang terus mengalir takkan terhabis usia.
Membaca kisah Jihad dalam novel berjumlah 206 halaman ini mungkin akan ditebak sebagian pembaca sebagai kisah nyata sang penulis. Tapi tentu sebagai pembaca yang arif, mindset seperti ini harus perlahan-perlahan dikurangi. Karena hanya akan membatasi imajinasi dan mempersempit persepsi. Alur yang sederhana, dan penokohan yang sewajarnya menceritakan karakter dalam sebuah kisah romansa dan persahabatan dalam lingkungan rantau cukup membantu meringankan arah berpikir pembaca.
Sebagian pembaca boleh menganggap beberapa deskripsi di dalam novel ini sengaja disisipkan mengandung nilai sejarah yang penting. Lain halnya bagi saya, justru nilai sejarah yang diangkat di sini adalah poin penting dari sang penulis yang sengaja ingin dikuak. Dengan begitu mengalir, ia bawa pemaparan sejarah secara detail itu ke dalam rangkaian kisah yang terbagi menjadi 15 bab ini. Bukan sebuah kesalahan untuk menyisipkan fakta dan realita dalam sebuah kisah fiksi. Inilah yang menjadikan kisah tersebut berbobot dan tidak hanya berlalu dengan terkenang konflik dan anti klimaksnya saja dalam benak. Melainkan ada ilmu yang kita dapatkan dari sini, yang belum tentu kita ingat jika kita baca dari buku-buku sejarah pada umumnya.
Bahasa yang ringan dan mengena pada apa adanya kehidupan para pelajar perantau di bumi wali itu membuat pembaca lebih santai dan terlena dalam menghabiskan cerita di dalamnya. Selain itu, beberapa kutipan penting dari kitab suci Al-Qur’an, Hadits, dan beberapa kitab membuat novel ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi sebuah rujukan pada suatu saat nanti. Bumbu romansa yang ditumbuhkan pun terdapat beberapa titik yang mungkin tak terduga.
Sebagai seorang perempuan, membaca bagian dimana Fareecha sampai pada puncak kecintaan sejatinya, membuatku berdesir. Alangkah usaha sang penulis dalam menghidupkan nyawa Sayyidah Rabi’ah dalam tokohnya benar-benar nyata.
“Masih layakkah aku mencintai makhluk-Nya di saat aku telah merasakan manis mencintai dan dicintai-Nya?”
Dari sekian dialog di buku karya mantan ketua FLP Hadhramaut ini, dialog berikutlah yang bagiku paling menyentuh. Dari sini aku menemukan bahwa dalam membulatkan sebuah pemahaman terhadap sebuah karya memang sungguh bergantung pada wawasan dan pengalaman si pembaca. Dengan harapan setelah memahami karya tersebut, tentunya juga harus menambah wawasan dan pengalaman pada pembaca. Dan Langit Cinta di Negeri Balqis.
Ungkapan terakhir yang paling penting dari uraian panjang tentang pengalaman setelah membaca novel ini adalah : Aku ingin segera pergi ke Yaman!
Membaca kisah Jihad dalam novel berjumlah 206 halaman ini mungkin akan ditebak sebagian pembaca sebagai kisah nyata sang penulis. Tapi tentu sebagai pembaca yang arif, mindset seperti ini harus perlahan-perlahan dikurangi. Karena hanya akan membatasi imajinasi dan mempersempit persepsi. Alur yang sederhana, dan penokohan yang sewajarnya menceritakan karakter dalam sebuah kisah romansa dan persahabatan dalam lingkungan rantau cukup membantu meringankan arah berpikir pembaca.
Sebagian pembaca boleh menganggap beberapa deskripsi di dalam novel ini sengaja disisipkan mengandung nilai sejarah yang penting. Lain halnya bagi saya, justru nilai sejarah yang diangkat di sini adalah poin penting dari sang penulis yang sengaja ingin dikuak. Dengan begitu mengalir, ia bawa pemaparan sejarah secara detail itu ke dalam rangkaian kisah yang terbagi menjadi 15 bab ini. Bukan sebuah kesalahan untuk menyisipkan fakta dan realita dalam sebuah kisah fiksi. Inilah yang menjadikan kisah tersebut berbobot dan tidak hanya berlalu dengan terkenang konflik dan anti klimaksnya saja dalam benak. Melainkan ada ilmu yang kita dapatkan dari sini, yang belum tentu kita ingat jika kita baca dari buku-buku sejarah pada umumnya.
Bahasa yang ringan dan mengena pada apa adanya kehidupan para pelajar perantau di bumi wali itu membuat pembaca lebih santai dan terlena dalam menghabiskan cerita di dalamnya. Selain itu, beberapa kutipan penting dari kitab suci Al-Qur’an, Hadits, dan beberapa kitab membuat novel ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi sebuah rujukan pada suatu saat nanti. Bumbu romansa yang ditumbuhkan pun terdapat beberapa titik yang mungkin tak terduga.
Sebagai seorang perempuan, membaca bagian dimana Fareecha sampai pada puncak kecintaan sejatinya, membuatku berdesir. Alangkah usaha sang penulis dalam menghidupkan nyawa Sayyidah Rabi’ah dalam tokohnya benar-benar nyata.
“Masih layakkah aku mencintai makhluk-Nya di saat aku telah merasakan manis mencintai dan dicintai-Nya?”
Dari sekian dialog di buku karya mantan ketua FLP Hadhramaut ini, dialog berikutlah yang bagiku paling menyentuh. Dari sini aku menemukan bahwa dalam membulatkan sebuah pemahaman terhadap sebuah karya memang sungguh bergantung pada wawasan dan pengalaman si pembaca. Dengan harapan setelah memahami karya tersebut, tentunya juga harus menambah wawasan dan pengalaman pada pembaca. Dan Langit Cinta di Negeri Balqis.
Ungkapan terakhir yang paling penting dari uraian panjang tentang pengalaman setelah membaca novel ini adalah : Aku ingin segera pergi ke Yaman!
Komentar
Posting Komentar