Diam bukan merunyam, Merendah bukan kalah
Jika membaca buku yang berbau sejarah, kesan apa yang pertama kali
muncul? Membosankan, banyak hafalan, banyak nama-nama susah, dan hanya membuat
ngantuk. Itu akan terjadi jika kita berhadapan dengan buku sejarah. Buku yang
benar-benar murni berisikan sejarah. Lalu bagaimana jika buku tersebut adalah
sebuah novel? Buku fiksi yang mengandung sebuah cerita yang begitu rinci dan
detail, lengkap beserta roman dan konflik yang cukup renik, tak lupa berbagai
kompleksitas karakter tokoh yang begitu nyata (pada umumnya).
Mahfud Ikhwan, seorang penulis muda sarjana sastra UGM menyuguhkan
sebuah novel beraroma sejarah yang begitu samar dan halus penyerapan
historinya. Melalui sebuah kisah yang mainstream, novel yang meraih juara 1
Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 ini telah berhasil memikat hati pembaca dan
khususnya para juri sayembara lantaran keberaniannya memakai isu yang cukup
dekat dan sensitif pada kehidupan sosial mayoritas masyarakat Indonesia.
Judul yang dipilih pada novel dengan tebal 374 halaman ini cukup
membuat orang yang pertama kali melihatnya bertanya-tanya. Ada apakah gerangan
rahasia diantara Kambing dan Hujan? Kedekatan kah? Kebencian kah? Keterikatan kah?
Atau ketergantungan kah? Bukankah antara kambing dan hujan tidak memiliki
hubungan apapun? Semakin dipikir-pikir semuanya semakin tidak jelas dalam
bayangan kita, kecuali sampai kita benar-benar membacanya.
Perbedaan sudah bukan hal baru lagi dalam kehidupan bertetangga,
bermasyarakat, bernegara. Apalagi di Negara yang sangat heterogen seperti
Indonesia ini. Mulai dari agama, suku, bahasa, dan lain sebagainya, semua
beraneka ragam dan pasti butuh banyak hal yang terjadi penyesuaian. Dan itu
tentu memerlukan waktu yang lama apalagi berkaitan dengan orang-orang yang
berbeda usia dan latar belakang dan budaya yang beragam pula.
NU dan Muhammadiyah, dua organisasi islam besar di Indonesia yang
sama-sama kuat, sama-sama besar dan sama-sama berpengaruh di masyarakat. Maka tidak
lagi menjadi suatu perkara baru jika masih seringkali terjadi gesekan-gesekan
kecil diantara keduanya. Baik dalam perkara yang sangat prinsip, atau hanya
sekadar budaya dan ritual yang lahir dari budaya para tokoh terdahulu mereka. Dan
ini merupakan hal yang sudah mulai bisa dimaklumi seiring berjalannya waktu.
Novel terbitan Benrang Pustaka ini secara terselubung menyisipkan
nilai-nilai prinsip dari kedua organisasi kuat tersebut. Bahkan dalam konflik
besarnya pun, Mahfud Ikhwan secara gamblang memaparkannya. Di era melek
literasi ini, semua orang tentu sudah semakin banyak bahan bacaan dan
pembelajarannya. Semoga dengan hadirnya novel semacam Kambing dan Hujan mampu
menyadarkan banyak orang, bahwa dari sejarah kita bisa belajar banyak, tentang
siapa diri kita, bagaimana masa lalu kita, dan harus bagaimana kita membangun
masa depan berbekal kisah histori nenek moyang dan pendahulu kita.
Fauziah dan Mif, pelaku utama dalam novel ini, terpapar sebagai
pelaku sejarah di masa sekarang yang mana kelanjutan cerita mereka tak bisa
terang tanpa mengurai kisah lama dan berliku dari kedua orang tua keduanya yang
begitu rumit dan berkali-kali membuat keduanya hampir mau menyerah saja. Dalam menghadapi
sebuah tantangan, kita takkan tahu apakah kita berhasil atau tidak sebelum kita
melaluinya, bukan?
“Kisah perjalanan seorang pelaku sejarah merupakan bagian dari
sejarah itu sendiri, oleh karena itu dia tak sekadar sebagai narasumber sejarah”
ujar Mif pada Pakde Anwar dalam cuplikan isi novel ini.
Menunjukkan bahwa selama masih ada sang pelaku sejarah, maka hargailah
mereka, kejar mereka, rekam jejaknya, dan abadikan kisahnya. Karena itulah
salah satu dari usaha kita dalam merapikan sejarah.
Banyak sekali pesan moral yang disisipkan dalam kisah ini, selain
gigihnya sepasang kekasih dalam memenangkan restu orang tua, juga bagaimana
lapang dadanya memaafkan dan menerima perbedaan dengan tenang dan penuh wibawa.
Setiap orang pernah punya salah, setiap orang punya masa lalu, dan setiap orang
punya rasa marah dan kecewa. Namun biarlah semua waktu yang mengobati,
luka-luka menganga, perih-perih menyiksa, dan hening-hening angkara.
Marilah saling merendah, menengadah, dan mengalah. Jika dengan itu
semua menjadi lebih indah, takkan ada yang merasa lemah dan kalah.
Komentar
Posting Komentar