Antara perang dan kuliner ; antara sejarah hidup dan dongeng nyata
Satu hal yang paling utama dan sangat penting dalam novel dengan tebal 450 halaman ini. tiada lain dalam pesan yang disampaikan : balas dendam tidak akan membawakan apapun pada diri kita. Dongeng (saya katakan dongeng karena kisah dalam novel ini mengambil dari salah satu dongeng nusantara yang sudah banyak orang kenal) dikembangkan dalam dua sisi, selain diperpanjang dengan rentang latar waktu dan tempat yang serupa, namun juga ditambahkan beberapa konflik yang membuat dongeng tersebut kian inovatif. Dengan menyuguhkan potongan demi potongan cerita yang segar dan serba mengejutkan membuat pembaca terlena dalam adegan-adegan yang serba menegangkan.
Jika disamakan dengan menonton sebuah film, maka tak hentinya
jantung kita para pembaca berdegup kencang, bulu kuduk bergidik ngeri, juga
bahkan perut terasa mual serasa ingin muntah. Namun memang beginilah teknik
bercerita Yusi Avianto Pareanom, gaya bahasa yang dipakai, alur yang dikemas
begitu apik dan meloncat-loncat, membuat kening pembaca berkerut berkali-kali. Nama-nama
tokoh yang dipakai pun cukup membuat pembaca pusing untuk mengingatnya setelah
sekali membaca. Kita seperti disuguhi film ber-genre drama, thriller, sejarah,
dan kerajaan sekaligus. Yang kesemuanya dikemas dalam cerita inti dari sebuah
dongeng nusantara yang sudah tidak asing lagi, yakni sangkuriang.
Meski judulnya Raden Mandasia, Si pencuri daging sapi, namun belum
tentu semua pembaca sepakat bahwa dialah pemeran utama dalam novel berjumlah 13
bab ini. beberapa hal yang membuat pembaca menggeleng-geleng adalah kejeliannya
dalam menjelaskan rincian kehidupan peperangan dalam kerajaan, dan juga tata
cara memasak pada beberapa daerah tertentu dalam roda waktu tertentu pula. Meski
karya ini fiksi, sudah barang tentu inspirasinya terlahir dari apa yang
dilihat, didengar, diingat, dirasakan langsung secara fisik oleh Yusi. Kecuali jika
memang dia punya kekuatan supranatural untuk mendapat anugerah ‘luar biasa’
itu.
Meski dalam kacamata literasi tertentu mungkin novel ini akan dicap
sedikit vulgar karena gaya bahasa dan suguhan yang mungkin mereka anggap kurang
pantas. Namun secara garis besar, penggambaran-penggambaran tentang kehidupan
asmara yang naïf dan tabu di zaman kerajaan memang begitulah adanya. Mungkin pesan
moral yang saya singgung di paragraf pertama di atas takkan disadari dan
dirasakan sebelum tuntas membaca keseluruhan bab novel ini dengan runtut. Namun
apa yang terjadi di dunia nyata ini memang semua berkaitan dengan bagaimana
kita manusia berinteraksi dengan sesama manusia. Bagaimana menunjukkan
kebahagian, bagaimana berbagi kesedihan, bagaimana mendengar keluh kesah orang,
dan bagaimana membagi kisah pribadi kepada orang lain. Sedekat apapun manusia
lain selain diri kita sendiri, dia tetaplah orang lain. Maka interaksi sesama
manusia itu sangat perlu dijunjung tinggi.
Gaya bahasa seperti layaknya mendongeng membuat pembaca tetap
asyik, seperti tidak membaca sendiri, tapi sedang diceritakan sebuah dongeng,
dengan bahasa dan alur yang begitu unik dan membuat pendengar berdebar. Puncak dari
rahasia perjalanan para tokoh pun terkuak di bab-bab terakhir, maka siapapun
yang membacanya takkan merasa puas sebelum semua teka-teki di dalamnya
terjawab. Karena balas dendam memang takkan memberikan keuntungan apapun pada
kita.
Komentar
Posting Komentar