Aku mung pengen kowe ono
Teringat Wiji Thukul berarti teringat teriakan-teriakan para
mahasiswa aktivis yang dengan semangatnya turun ke jalan demi membela rakyat
dan menegakkan kebenaran. Dulu hanya wajahnya berkeliaran di poster-poster di
kantor pers mahasiswa, dulu hanya teman-teman aktivis yang hafal puisi-puisi
penuh gelora semangat perjuangan dan sejak dulu kukenal dia dan semua gambaran
dan cerita tentangnya.
Menonton film bagiku sama dengan membaca buku, namun lebih jelas
terarahkan imajinasinya. Jika ketika membaca buku imajinasi berasa berkelana
berterbangan kemana-mana, bebas sesuai isi hati dan ingatan kepala yang
terpendam. Sedangkan ketika menonton film apa yang kita bayangkan akan terarah
sesuai dengan apa yang telah tersajikan di layar kaca yang kita saksikan.
Dari judulnya saja, film indie karya Anggi itu sudah memantik
ketertarikan tersendiri. Tidak seperti film-film Indonesia yang kerap beredar
di seantero bioskop nusantara, film ini memiliki titik poin yang istimewa.
Berdasar dari kisah nyata seorang pelaku sejarah yang hingga kini penggemarnya
tak kunjung surut, seorang penyair sekaligus demonstran di era reformasi,
seseorang yang menginspirasi banyak orang muda untuk bangkit dan memberontak
rezim pemerintah.
Meski sampai detik ini sosok Wiji Thukul belum juga muncul dan juga
ditemukan, film yang didominasi dengan pembacaan-pembacaan puisi sang penyair
asal Solo ini, sedikitpun tidak mengurangi esensi dari penghayatan film ini.
Tentu saja dengan penikmat dari kalangan-kalangan khusus, film ini mendapat
perhatian besar terutama bagi mereka.
“Aku gak pengen kowe lungo, aku yo gak pengen kowe teko, aku mung
pengen kowe ono”
Salah satu dialog si tokoh Sipon ‘istri Wiji Thukul’ pada sang
suami saat di tengah pelarian, ia sempatkan pulang untuk sekadar menjenguk
istri dan anak, namun justru mendapat respon kurang baik di kalangan masyarakat
sekitar rumahnya. Begitulah nasib seorang penyair yang keberadaannya tak diharapkan
oleh pihak yang merasa terganggu.
Pesan penting yang tersirat dalam film berdurasi 97 menit mungkin
hanya dapat ditangkap oleh orang-orang tertentu yang lebih dulu menyimak kisah
perjalanan sang penyair. Namun beberapa potongan dialog antar tokohnya mampu
menginspirasi banyak orang seperti halnya yang telah saya kutip di atas.
Saat ini, seperti halnya yang diajarkan oleh Wiji Thukul, jika
telah tiba waktunya, kalimat dan teriakan telah dibungkam, maka istirahatlah
kata-kata, biar waktu yang menunjukkan kebenaran yang nyata.
Komentar
Posting Komentar