Merasa terpanggil, Memanggil, dan Panggilan


Adakah dari kau yang telah lama berkelana. Merasa diri mulai hilang arah dan gundah gulana. Mulai mencari tongkat pegangan penunjuk arah. Atau hanya sekadar mencari teman seperjalanan, yang mulai hilang satu per satu karena kelelahan. Masihkah kau yakin kau sudah benar dalam melangkah? Masihkah kau yakin dengan jalan yang kau tempuh? Masihkah kau yakin dengan perbekalan yang kau siapkan? Atau jangan-jangan kau takut mendadak mati kelaparan kehabisan bekal.

Tahukah kau apakah panggilan itu? Adanya panggilan itu didengar ketika kau punya nama. Ketika namamulah yang secara jelas disebut. Ketika pada arahmulah suara itu tertuju. Apakah panggilan itu selalu identik dengan suara? Atau bisa jadi hanya bisikan angin melambai di telinga. Atau bisa jadi itu hanya jelmaan suara iblis yang mencoba mengusikmu. Sebaiknya kau lebih hati-hati dalam menangkap panggilan. Barangkali bukan hanya kau pemilik nama itu.

Adanya seseorang memanggil itu karena adanya keperluan. Adanya kebutuhan pada yang dipanggil. Entah yang memanggil ataukah yang dipanggil yang merasa dibutuhkan. Mungkinkah jika bukan kepentingan keduanya lalu mereka saling memanggil. Atau orang-orang dekatnya, yang terkasih yang tersayangnya, atau yang terbencinya. Bukankah itu semua sangat mungkin terjadi.

Semakin jelas sebuah panggilan itu maka semakin dekat pula arahnya. Ternyata ini tidaklah mutlak. Bukankah rindu adalah panggilan paling dekat dari arah yang paling jauh sekalipun. Tapi di dalam rindu tidak selalu ada kebutuhan dan kepentingan. Di dalam rindu hanya ada panggilan dan ketulusan, yang bahkan tanpa alasan. Bukankah cinta dan rindu terlalu luhur jika hanya dilandaskan dengan sebuah panggilan semata.

Begitulah ya sedikit kaitan panggilan, yang memanggil dan yang terpanggil. Yang tentunya tidak bisa serta merta dipasangkan pada yang lebih hakikat. Apalagi kepada Tuhan dan cinta kasih juga rindu-Nya. Sekian. Dari hamba yang mencintai dan merindukan kasih Tuhannya.

Komentar

Postingan Populer