Manusia Pengelana


Cinta, bagi Arafat Nur adalah sebuah perasaan yang begitu murni dan suci, tak pantas dinodai dengan perbuatan-perbuatan nista, kelakuan bejat manusia, juga hina dina dunia fana. Tokoh Fais yang digambarkan dalam novel berjudul Burung terbang di kelam malam ini menggambarkan sosok seorang manusia yang sedang mengembara, menjalani hidup yang penuh kegamangan, sarat dalam pencarian tak berujung, banyak sekali dihadapkan pilihan-pilihan penuh kebimbangan, dan terjebak dalam situasi mendesak dalam berbagai macam keputusan. Kejadian demi kejadian ini mungkin dialami oleh semua manusia pada umumnya, tapi kegundahan hati dan keresahan batin yang dirasakan Fais di waktu dan tempat ia berada membuat cerita ini begitu dalam dan penuh emosional.

Buku dengan tebal 374 halaman ini mengingatkan kita pada sebuah kota di ujung barat laut Negara Indonesia yang dalam beberapa kurun waktu lalu tengah mengalami kemelut dahsyat peperangan, baik antar golongan, fanatisme pada ajaran satu agama tertentu, ataupun perpecahan yang terjadi antara penduduk dengan bendera golongan tertentu dengan aparat Negara. Belum lagi bekas bencana alam yang meluluhlantakkan bumi serambi mekkah dalam waktu sekejap namun dampaknya bertahun-tahun lamanya. Tidak hanya menghancurkan rumah masjid dan jalan-jalan, jauh dari itu juga melumpuhkan peradaban, kehidupan sosial, kebudayaan dan juga mental penduduk setempat, hal ini memberikan luka yang cukup mendalam bagi semua orang, baik korban dari penduduk ataupun rakyat Indonesia secara umum.

Arafat nur dengan begitu lugas mengupas budaya dan pendekatan sosial pada kehidupan nyata yang ada di Provinsi Aceh, membawa khayalan pembaca terbang mengembara di sana secara langsung, belum lagi fenomena bobroknya kepemimpinan di negeri pertiwi saat ini, juga menurun drastisnya pendidikan moral manusia, dari berbagai sudut pandang. Khusus dalam kisah ini, Fais sebagai seorang wartawan menjabarkan segamblang-gamblangnya bagaimana hitam putih kehidupan seorang kuli tinta di jaman itu, tentunya di era kini menjadi jauh berbeda, entah lebih baik atau nahasnya justru jauh lebih memprihatinkan.


“Mau tidak mau, karena aku adalah seorang juru warta dan tidak punya pilihan lain, terpaksa juga meliput berbagai kegiatan itu : omong kosong, propaganda, hujatan, kericuhan kecil, dan bagi-bagi uang. Sesekali diselingi pula dengan peristiwa perampokan, aliran sesat, maksiat, perjudian, dan maraknya penipuan.”

Dengan mengantongi sekian banyak pengantar dari berbagai tokoh dengan latar belakang yang berbeda, Arafat nur berhasil mengusung kearifan lokal daerah kelahirannya menjadi sebuah cerita yang sarat pelajaran tersirat dengan pembawaan bahasa yang cukup ringan. Sehingga membuat pembaca terlena dari satu bab ke bab selanjutnya seakan terbawa dan ingin segera menyelesaikannya dalam satu waktu. Beberapa fenomena yang begitu polos dia paparkan menunjukkan peradaban masyarakat yang apa adanya di masa itu membuat cerita begitu jujur dan murni, seakan pembaca dibawa hidup dan mengamati langsung kehidupan para tokoh di dalamnya.

Beberapa adegan yang dirasa kurang pantas oleh beberapa kalangan penulis tertentu menurut Arafat Nur merupakan hal biasa yang sangat lumrah dipaparkan. Bukankah penulis hanya berniat menyampaikan maksud hatinya melalui pilihan bahasa dan alur yang ia pilih, selebihnya pembaca yang menentukan apakah ia menerima dengan baik tulisan tersebut menurut idealismenya. Sebuah pemaknaan akan cinta sejati yang diantar dengan pilihan diksi dalam dialog antar tokohnya membuat pembaca dari kalangan anak muda menjadi terlarut. Tentu dengan berbagai kacamata yang dimiliki masyarakat majemuk, perenungan dalam dari makna yang ingin disampaikan oleh Arafat Nur ini membutuhkan beberapa kali pemahaman dan pengendapan tentang apakah arti dari sebuah cinta sejati sesungguhnya, terlebih setelah perjalanan panjang seorang Fais dalam pengembaraan di ‘kelam malam’.

Untuk beberapa kalangan dan usia tertentu mungkin novel terbitan bulan Februari 2014 ini kurang diterima lantaran beberapa adegan yang dianggap kurang pantas, namun lepas dari itu semua, banyak beberapa pernyataan pribadi seorang Arafat Nur dalam buku ini yang mau tidak mau akan diiyakan oleh pembacanya melihat kondisi Negara terkini Indonesia saat ini. Gaya satire yang kerap diterapkan dalam deskripsi narasi dalam novel ini cukup berani dan menggelitik benak pembaca. Topik besar perempuan dan fenomena kepemimpinan yang tragis dan penuh kemunafikan semakin apik membungkus konflik demi konflik yang tertata dalam sebuah kisah penuh kecamuk.

Siapapun yang membaca Burung terbang di kelam malam ini, tentu nantinya akan menarik sebuah kesimpulan yang berbeda-beda, entah dari sudut pandang romansa dan kedalaman pemaknaan cinta, keprihatinan pada Negara dan kepemimpinannya, atau pada kondisi carut marut rakyatnya. Ini semua kembali pada pembaca. Selamat membaca dan simpulkan!

Komentar

Postingan Populer