Manusia. Cinta. Harta.

Cerita dengan jumlah
halaman 524 halaman ini menyajikan sebuah kisah kehidupan manusia yang begitu
nyata, yang takkan lepas dari harta. Sesederhana apapun hidup seseorang dia
masih akan selalu butuh pada harta, meski hanya sekadar menyambung nafasnya
dari sesuap nasi dan seteguk air mengalir dalam tubuhnya.
Latar waktu yang begitu
lengkap dan tertata dengan rapi dari tahun 1940-an hingga saat ini, lebih
tepatnya 2016, Tere Liye dengan lugas menjabarkannya sekaligus dengan suasana
yang terjadi di tiap-tiap kurun waktu juga kejadian penting yang terjadi di
tahun tersebut baik dalam skala nasional maupun internasional. Sedangkan latar
tempat juga dibuat begitu nyata dengan kondisi fisik tiap-tiap daerah dan
kawasan diperlihatkan secara terbuka dan terbarukan.
Adapun penokohan yang
dipasangkan pada para tokoh di sini tergambarkan dengan cukup unik, dari
berbagai warga Negara dan kebangsaan, juga latar belakang dan karakter yang begitu
majemuk, tak jarang memunculkan beberapa tokoh dari novel karya Tere Liye
sebelumnya, Rindu, bisa di.cek resensinya di sini.
Lepas dari sejak kapan
Tere Liye mulai menuliskan ini, tema dan kasus yang diangkat dalam cerita ini
cukup berani, dengan menyesuaikan kondisi permasalahan yang paling update
terjadi di Negara maupun di kancah internasional. Bidang hukum belakangan ini
mulai banyak dimunculkan para penulis dengan cukup berani dan gamblang melalui
berbagai produk tulisannya, mengingat sudah tidak ada lagi keterikatan dan
batasan untuk menuangkan topik tersebut.
Ada banyak sekali pesan
moral yang tersirat dari kisah yang dialami oleh Zaman Zulkarnaen ini, yang
mampu diterima dan dipahami oleh pembaca secara umum, tanpa harus orang yang
memiliki latar belakang keilmuan, hukum, ekonomi, atau politik.
Konflik yang dimunculkan
begitu mengaduk, penuh teka-teki, seperti membaca dwilogi Tere Liye yang
berjudul “Negeri di ujung tanduk” dan “Negeri para bedebah”. Adapun klimaks dan
anti klimaksnya mungkin masih sedikit mainstream untuk novel ber-genre detektif
yang sejenis ini. Bumbu romansa dan sosialitika yang disisipkan cenderung
sangat terasa hanya sebagai bumbu belaka. Tidak lebih hanya memberi pengaruh
besar pada kelangsungan cerita secara keseluruhan. Tapi itu tidak masalah,
mungkin hanya sebagai penilaian subyektif beberapa pembaca saja.
Beberapa poin penting
dari pesan moral yang disisipkan diantaranya pada bab ketika Sri Ningsih
mengalami masa-masa sulit dalam mengarungi kehidupan,
“Karena pada akhirnya, semua hal akan
selesai, memiliki ujung kisah. Maka saat itu berakhir, aku tidak akan menangis
sedih, aku akan tersenyum bahagia karena semua hal itu pernah terjadi” pesanterakhir Hakan pada istirnya.
.
Kalimat di atas
menunjukkan sebuah kondisi penerimaan yang begitu mendalam, antara ikhlas dan
memaafkan mungkin memang ada satu titik yang berat, tapi jika dihadapkan dengan
kata menerima, mungkin semua akan berbeda. Mungkin manusia memang tidak bisa
memaafkan, tapi itu bisa disederhanakan dengan mencoba menerima sambil perlahan
melupakan. Bukankah semua takdir hidup kita ini di luar kendali kita.
Genre yang diangkat dalam
buku yang sudah cetak dua kali dalam satu bulan, Oktober 2016, ini memang sudah
sangat biasa, hanya saja dengan permainan alur dan penataan konflik saja yang
membuatnya sedikit mengaduk emosi pembaca, ditambah topic yang diangkat sedang
sangat bersentuhan langsung pada kehidupan masyarakat di tahun-tahun terakhir
ini.
Kisahnya ringan, cukup
direkomendasikan sebagai pengisi waktu luang, menambah wawasan bidang hukum,
ekonomi, politik, juga kemanusiaan. Selamat membaca!
Komentar
Posting Komentar