Tanggal 25 Oktober dan tetesan air mata
Bulan Oktober adalah bulan paling istimewa bagiku. Bulan dimana Ibuk dilahirkan, juga sekaligus berpulang. Selain itu, bulan Oktober adalah bulan bahasa. Alangkah istimewanya bulan ini. Yaah, meskipun Ibuk juga mungkin kurang mengerti tentang bulan bahasa sewaktu itu.
Pagi ini adalah pagi yang sangat istimewa di bulan ini. Kalender menunjukkan angka 25, yang berarti hari kelahiran ibunda tercinta. Tepat 56 tahun yang lalu, beliau dilahirkan oleh si Mbah dengan selamat dan sehat wal afiat. Singkat cerita Ibuk kukenal sebagai sosok yang sempurna, sebagai sosok wanita yang begitu bijak dan berwibawa, sebagai sosok istri yang patuh dan hormat, sebagai sosok ibu yang penyayang dan pengasih. Meskipun waktu kebersamaanku dengannya hanya sampai di usiaku yang ke-15, aku merasa ibuk selalu hadir di sisiku, di sampingku, dalam mimpi-mimpiku, dalam doa-doaku, juga terlukis nyata di masa depanku. Seorang aku tanpa ibuk, takkan berarti apa-apa. Betapa ibuk adalah satu-satunya orang yang membelaku sampai ahkir, beliau juga yang menyerahkan segenap jiwa raganya padaku dan adik-adikku, beliau pula yang menomorduakan kebahagiaannya demi kebahagiaan kami. Manusia mana yang lebih malaikat dari Ibuk? Meski demikian, ibuk tetaplah ibuk, beliau hanyalah manusia biasa yang juga punya salah dan khilaf, aku sebagai anak hanya mampu memohonkan ampun atas semua salah dan khilaf beliau semasa hidup.
Pagi ini pula aku begitu rindu pada beliau, aku begitu merasa rapuh tanpa beliau, aku begitu merasa kecil dan lemah tanpa beliau. Apalah arti seorang anak tanpa kasih sayang ibunya? Maafkan ibuk, pagi ini juga air mataku menetes, tak bisa lagi ditahan, rindu ini terlalu sakit, menyiksa dan mencengkeram, mungkin juga tujuh tahun telah berlalu dan air mata kerinduan ini tak begitu deras, namun di pagi ini, aku tak sanggup lagi menahannya. Ibuk, bukankah ibuk sendiri yang mengatakan aku tak boleh terbiasa menahan sesuatu, nanti akan berujung penyakit, padahal itulah yang ibuk sendiri lakukan. Ibuk, ibuk sendiri yang selalu meyakinkanku untuk selalu kuat dan sabar, ibuk pun memberi contohnya secara langsung, betapa ibuk adalah sosok paling tegar yang pernah kutemui. Ibuk, jika air mata ini membuat ibuk di sana sedih, maafkan aku ibuk, aku hanya tak ingin lagi berdusta dan menahan, meski hanya pada diri sendiri, dan juga ibuk.
Ibuk, tiga hari yang lalu tepat setelah hari kapundutnya ibuk, waktu itu tepat di hari santri nasional, pagi hari ibuk datang di mimpiku, ibuk berpakaian hitam dan berjilbab selendang putih tulang, mirip dengan yang ibuk kenakan di foto sewaktu pernikahannya ami mamak, waktu itu, aku yang masih kecil ada di gendongan ibuk. Ibuk datang dengan begitu jelas di mimpiku, kemudian aku mengecup punggung tangan ibuk, dan ibuk seperti biasa dulu ibuk selalu lakukan, ibuk mencium pipi kanan, pipi kiri, dan juga keningku, seraya berbisik, "seng pinter nak". Aku lekas ingin segera menghamburkan diri memeluk ibuk, tapi kemudian ingatanku tentang mimpi itu perlahan menguap, yang kuingat hanyalah sampai pada pesan singkat ibuk itu.
Ibuk memang jarang sekali berpesan dengan kalimat-kalimat yang begitu motivator, berbahasa indah, atau puitis dan sejenisnya. Tapi yang terpatri dalam ingatanku, semua kalimat yang meluncur dari bibir ibuk adalah puisi yang lebih indah dari puisi penyair se-top apapun. Ketahuilah ibuk, setelah mimpi beberapa kejap itu, kekuatanku mengalir deras, aku mampu menyelesaikan naskah solo puisiku, yang isinya lebih dari 75% mengandung kerinduanku padamu.
Ibuk, air mataku pagi ini mungkin sudah mampu kuhapus, setelah sekian detik tidak terbendung, tapi luka dalam hatiku akibat merindukanmu tidak akan sirna, dia akan membara selama-lamanya. Terkadang menjadi senjata ampuh menghadapi situasi sulit dan berat, terkadang pula menjadi obat penawar luka atas sakit hatinya seorang manusia biasa, atau juga terkadang menjadi racun yang setiap waktu bisa melumpuhkanku pada kondisi apapun. Mungkin seperti pagi ini.
Aku sedang ingin meluangkan waktuku hanya untuk menghabiskan cumbu rinduku yang semakin renjana. Tapi hidup tetaplah hidup ya buk, harus selalu berputar dan dijalani. Ah, biarlah ibuk, aku ingin hari ini saja, aku menekuk diri menyudut dalam dekap hangat rindumu.
Ibuk, aku rindu.
Pagi ini adalah pagi yang sangat istimewa di bulan ini. Kalender menunjukkan angka 25, yang berarti hari kelahiran ibunda tercinta. Tepat 56 tahun yang lalu, beliau dilahirkan oleh si Mbah dengan selamat dan sehat wal afiat. Singkat cerita Ibuk kukenal sebagai sosok yang sempurna, sebagai sosok wanita yang begitu bijak dan berwibawa, sebagai sosok istri yang patuh dan hormat, sebagai sosok ibu yang penyayang dan pengasih. Meskipun waktu kebersamaanku dengannya hanya sampai di usiaku yang ke-15, aku merasa ibuk selalu hadir di sisiku, di sampingku, dalam mimpi-mimpiku, dalam doa-doaku, juga terlukis nyata di masa depanku. Seorang aku tanpa ibuk, takkan berarti apa-apa. Betapa ibuk adalah satu-satunya orang yang membelaku sampai ahkir, beliau juga yang menyerahkan segenap jiwa raganya padaku dan adik-adikku, beliau pula yang menomorduakan kebahagiaannya demi kebahagiaan kami. Manusia mana yang lebih malaikat dari Ibuk? Meski demikian, ibuk tetaplah ibuk, beliau hanyalah manusia biasa yang juga punya salah dan khilaf, aku sebagai anak hanya mampu memohonkan ampun atas semua salah dan khilaf beliau semasa hidup.
Pagi ini pula aku begitu rindu pada beliau, aku begitu merasa rapuh tanpa beliau, aku begitu merasa kecil dan lemah tanpa beliau. Apalah arti seorang anak tanpa kasih sayang ibunya? Maafkan ibuk, pagi ini juga air mataku menetes, tak bisa lagi ditahan, rindu ini terlalu sakit, menyiksa dan mencengkeram, mungkin juga tujuh tahun telah berlalu dan air mata kerinduan ini tak begitu deras, namun di pagi ini, aku tak sanggup lagi menahannya. Ibuk, bukankah ibuk sendiri yang mengatakan aku tak boleh terbiasa menahan sesuatu, nanti akan berujung penyakit, padahal itulah yang ibuk sendiri lakukan. Ibuk, ibuk sendiri yang selalu meyakinkanku untuk selalu kuat dan sabar, ibuk pun memberi contohnya secara langsung, betapa ibuk adalah sosok paling tegar yang pernah kutemui. Ibuk, jika air mata ini membuat ibuk di sana sedih, maafkan aku ibuk, aku hanya tak ingin lagi berdusta dan menahan, meski hanya pada diri sendiri, dan juga ibuk.
Ibuk, tiga hari yang lalu tepat setelah hari kapundutnya ibuk, waktu itu tepat di hari santri nasional, pagi hari ibuk datang di mimpiku, ibuk berpakaian hitam dan berjilbab selendang putih tulang, mirip dengan yang ibuk kenakan di foto sewaktu pernikahannya ami mamak, waktu itu, aku yang masih kecil ada di gendongan ibuk. Ibuk datang dengan begitu jelas di mimpiku, kemudian aku mengecup punggung tangan ibuk, dan ibuk seperti biasa dulu ibuk selalu lakukan, ibuk mencium pipi kanan, pipi kiri, dan juga keningku, seraya berbisik, "seng pinter nak". Aku lekas ingin segera menghamburkan diri memeluk ibuk, tapi kemudian ingatanku tentang mimpi itu perlahan menguap, yang kuingat hanyalah sampai pada pesan singkat ibuk itu.
Ibuk memang jarang sekali berpesan dengan kalimat-kalimat yang begitu motivator, berbahasa indah, atau puitis dan sejenisnya. Tapi yang terpatri dalam ingatanku, semua kalimat yang meluncur dari bibir ibuk adalah puisi yang lebih indah dari puisi penyair se-top apapun. Ketahuilah ibuk, setelah mimpi beberapa kejap itu, kekuatanku mengalir deras, aku mampu menyelesaikan naskah solo puisiku, yang isinya lebih dari 75% mengandung kerinduanku padamu.
Ibuk, air mataku pagi ini mungkin sudah mampu kuhapus, setelah sekian detik tidak terbendung, tapi luka dalam hatiku akibat merindukanmu tidak akan sirna, dia akan membara selama-lamanya. Terkadang menjadi senjata ampuh menghadapi situasi sulit dan berat, terkadang pula menjadi obat penawar luka atas sakit hatinya seorang manusia biasa, atau juga terkadang menjadi racun yang setiap waktu bisa melumpuhkanku pada kondisi apapun. Mungkin seperti pagi ini.
Aku sedang ingin meluangkan waktuku hanya untuk menghabiskan cumbu rinduku yang semakin renjana. Tapi hidup tetaplah hidup ya buk, harus selalu berputar dan dijalani. Ah, biarlah ibuk, aku ingin hari ini saja, aku menekuk diri menyudut dalam dekap hangat rindumu.
Ibuk, aku rindu.
Komentar
Posting Komentar