Aku, Arsitektur dan kuliah lebih dari 4 tahun



Kali ini aku akan sedikit bercerita tentang bagaimana perasaanku menyambut momentum Tugas Akhir, yang biasa disebut dengan TA, begitu saja. Sekarang bulan September, yakni bulan dimana teman-teman satu angkatanku sama merayakan keberhasilannya menyelesaikan studi mereka di tingkat satu pendidikan pasca SMA ini. alangkah bahagianya mereka, begitu lega menjalani hari demi hari. Meski begitu, bukan berarti aku dan teman-temanku yang tersisa, yang masih harus menyelesaikan di semester ini itu tidak berhasil, tentu tidak. Hampir semua dosen dan orang dekatku pun mengatakan begitu, entah hanya untuk menghiburku, atau memang begitulah adanya.

Setelah mengikuti pertemuan pertama perkuliahan TA hari selasa lalu, aku menjadi mendapat informasi sejelas-jelasnya dari beliau Pak Defry, dosen koordinator TA kami, bahwa lulus empat tahun bukanlah bukti keberhasilan seseorang dalam kuliah. Bagaimana tidak, beliau saja yang di usia masih terbilang muda, sudah menjadi dosen, memegang berbagai proyek, juga telah mendapat pengalaman menjadi sekretaris jurusan saja dulu pun menghabiskan waktu 9 semester ketika menempuh strata satu di arsitektur ITS. bahkan, Bu Risma, sang walikota Surabaya yang saat ini tengah menjadi buah bibir seantero negeri karena keberhasilannya pun, juga membutuhkan waktu 5 tahun mengenyam kuliah di kampus tercinta kita ini.

Pertama, tulisan ini merupakan tulisan obat baper, bahasa kerennya bawa perasaan, atau menghilangkan rasa nelongso, atau apapun itu mengingat statusku yang sampai detik ini, detik dimana besok aku harus membagikan toga yang kujual pada teman-temanku yang seharusnya minggu depan aku pun turut merayakannya. Ah, aku masih bisa merayakannya kok, tentu. Siapa sangka aku tidak bahagia dengan kelulusan mereka, itu akan sangat kejam kurasa. Kedua, karena aku ingin membagikan kepada kalian semua, sahabatku, juga semua pembaca dimanapun berada, bahwasanya kuliah adalah proses pendidikan, proses belajar, dan yang dinamakan dengan sebuah proses maka masing-masing manusia tentu mempunyai kecenderungan yang beragam. Setuju? Iya harus. Sekolah, kampus, dan sistem apapun itu hanyalah memberikan fasilitas, batasan-batasan, capaian dan waktu sebagai batas, sebagai penanda beralihnya pembelajar dari satu tahap ke tahap berikutnya. Maka tanpa sekolah yang formal pun, tanpa masuk kelas, duduk dan mengerjakan tugas pun, kita semua ini sehari-hari sesungguhnya telah mengalami dan menjalani proses belajar.

Cukup, sekilas aku bagi pengalaman kenapa September tahun ini aku belum bisa pakai toga, masuk graha, dan berbaris dipanggil maju ke panggung menghadap senat ; jadi seperti halnya yang pernah kuceritakan tentang status hubunganku dengan jurusan yang kuambil saat ini, yakni dalam kondisi yang kurang akur, memang sejak awal, aku sendiri kurang beritikad baik untuk mengakurkan diri. Tapi seperti halnya kita tahu tentang pepatah jawa yang bunyinya, witing trisno jalaran songko kulino, maka seiring berjalannya waktu empat tahun ini aku mulai dibuat mabuk olehnya, ehmmm, nggak mabuk juga sih, Cuma sedikit naksir gitu saja, kemudian singkat cerita di tahun ketiga kemarin, ketika aku masih dalam proses penjajakan dengan jurusanku ini, terjadi penikungan-penikungan yang tanpa kusadari, kulakukan begitu banyak dan intens, nah, dari situlah si kekasih baruku ini, jurusanku ini, sedikit ngambek, akupun diberi sedikit pelajaran, dengan memberi abjad kurang baik pada integra yang kuakses di akhir semester, sejak saat itulah aku mengambil keputusan, aku akan menebus kesalahan ini, aku harus merayunya, menemaninya lebih lama, dan mencoba memahaminya, karena perlahan mulai kusadari, aku mulai jatuh hati padanya, yaa meski tidak pada pandang pertama.

Dari secuil kisah tersebut, maka adalah aku sekarang di sini, di ruang SK pada hari selasa kemarin, turut menyimak penjelasan dari pak defry terkait bagaimana kelas TA kecil ini nanti akan berjalan dalam satu semester. Tidak terlalu banyak pertemuan, yakni tidak harus selalu setiap selasa masuk kelas, hanya saja ketika ada yang perlu didiskusikan, silahkan semua mendapatkan kesempatan bebas dalam bertanya dan berpendapat, baik milik sendiri ataupun milik teman seperjuangan.

Satu statement dari pak defry yang masih kuingat sampai sekarang adalah kuliah adalah bagaimana mencari esensi dalam sebuah pembelajaran, dan TA adalah alat untuk mencapainya. Banyak dari mahasiswa terdahulu yang sangat mungkin terjadi pada kalian adalah ketika berhasil menyelesaikan setumpuk tugas dan TA selama ini, setelah lulus, justru dia menyadari ternyata bidang dia sesungguhnya bukanlah di arsitektur. Ada pula yang setelah menyelesaikan satu jenjang pendidikan ini, ia mendapat kesadaran pula bahwa ternyata dirinya memiliki bakat dan potensi besar di bidang yang justru sangat bertentangan dengan arsitektur.

Sejatinya proses belajar adalah proses pencarian jati diri. Maka jangan khawatir untuk salah. Ini kalimat kok udah kayak motivator aja ya, hemmm… . ketika kita mengerjakan TA tidak menemukan kesulitan satupun, merasa sangat lancar dan aman, maka justru itulah yang dikhawatirkan, karena pasti ada yang salah, entah cara berpikir, proses belajar, atau lingkungan yang salah mendukung. 

Dalam arsitektur kita tidak akan bisa mengerjakan maksimal, karena apa yang kita kerjakan ini, hanyalah mendapat andil sekian persen dari kinerja arsitek sesungguhnya di lapangan. Untuk mewujudkan rancangan kita, kita takkan mampu dengan tangan kaki sendiri. oleh karena itu, bekerjalah yang optimal, relevan dengan durasi waktu sekian dan beban tantangan yang ada, maka dari situlah kreatifitas kita diuji. Sejauh mana kita pandai mencari masalah, memecahkannya dan membuat berbagai inovasi baru yang cemerlang.

Arsitektur adalah sebuah keilmuan yang maha kompleks. Hampir semua profesi penguasaannya mampu ia atasi. Menjadi seorang arsitek mungkin memang bukan impian semua mahasiswa arsitektur, tapi mendapat keilmuan dan pengetahuan bagaimana merancang sebuah rencana hingga bangunan, bagaimana mengendalikan emosional dalam bekerja professional, bagaimana menghadapi masa-masa genting dalam keadaan yang tak diinginkan, dan bagaimana mengantar kebahagiaan dan memenuhi kebutuhan orang lain dengan lapang dada. Semua itulah yang dipelajari dalam arsitektur.

Dimulai dari belajar menarik garis, lurus, bergelombang, vertical, horizontal, diagonal, hingga menggambar sedemikian rumitnya jauh lebih parah daripada pelukis. Menjadi seorang arsitek sangat berbeda dengan menjadi seorang mahasiswa arsitektur. Seorang mahasiswa ketika sudah merampungkan studinya memiliki tawaran terbuka, ingin melanjutkan kehidupan tersebut atau mencoba hal lain yang mungkin lebih cocok dengan dirinya sendiri.

Hal ini tentu tidak terjadi pada profesi arsitektur saja. Menjadi guru, dokter, polisi, pilot, dan semua profesi yang ada pun juga memiliki jati diri masing-masing, penguasaan pikiran dan pengendalian perasaan yang juga berbeda-beda. Dengan bekal ilmu dan pengetahuan di aristektur, aku mendapat banyak asupan dan memenuhi semua kebutuhanku. Mungkin memang aku kelak tidak menjadi seorang arsitek, tapi apakah ilmu dari arsitektur tidak berguna untukku? No, itu salah besar. Semua yang ada di muka bumi ini ada manfaatnya, jadi arsitektur mampu membuka lebar pikiranmu.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer