Jatuh cinta ke sekian kalinya
Aku hanyalah perempuan biasa, bisa
bersedih juga bisa berbahagia. Sampai pada suatu masa, aku merasa hal yang lain dari biasanya. Seperti
ada yang menggelitik dan membuatku selalu bahagia.
Namun ini bukanlah yang pertama kalinya. Aku merasakan jatuh cinta. Apakah jatuh cinta harus dirasakan pada seorang manusia? Harus dirasakan pada seorang yang berbeda jenis kelaminnya dengan kita? Dan harus diantar oleh hal-hal yang berbau manis saja? Tentu tidak bukan.
Sudah hampir tiga bulan ini terjadi, semenjak aku mengenalnya. Sosok yang sederhana, juga jauh dari kata sempurna. Tapi hadirnya buatku tak henti tertawa. Ada saja yang dibicarakannya mengusik nalarku. Ada saja celetukannya seringkali kusetujui. Ada saja topik perbincangan yang selalu menunda perpisahan kita, baik dalam jumpa yang sesungguhnya, atau hanya dalam dunia maya.
Betapa kejam dirinya, jika rasa yang kumiliki ini sedikitpun tak ditangkapnya. Meski akupun tak mampu berbuat apa-apa, selain hanya merasakannya seorang diri saja. Cukuplah kebahagiaan itu di sini. Di relung hati paling dalam tanpa perlu ada orang lain tahu. Tidak juga dia.
Aku segan menyebutnya cinta, karena makna cinta pun sampai detik ini aku tak mampu rumuskannya. Meski pada seorang profesor pun, cinta belum kutemukan kuncinya. Yang kutahu hanya sekadar beberapa indikasinya. Hati berdebar, keringat dingin membasahi sekujur tubuh, dan bibir yang tak henti tersenyum bahagia. Begitukah cinta itu?
Aku tak mengerti, sejauh yang pernah kualami, cinta hanyalah sebuah keindahan, yang semua orang memiliki masing-masing cara dalam menerjemahkan, pun juga aku, dan dirinya. Suatu saat kita bertukar warta, juga mungkin saling memberi warna dalam jiwa. Tapi siapa hendak mengakui, sedang di antara kita terpasang dinding yang sangat kokoh.
Sampai saat ini dia masih suka berseliweran, keluar masuk hatiku tanpa permisi, baginya kunci sudah ada dalam genggamnya, tak perlu lagi memohon permisi pada sang pemiliknya. Apakah cinta identik dengan pencuri? Apakah permohonan izin itu diharuskan? Mengapa jika dia mengambil tanpa sepengetahuan? Hanya aku yang tahu jawabnya, karena aku pula yang merasakannya.
Terima kasih kusampaikan padanya. Karena telah melestarikan kehidupan hatiku. Juga bunga-bunga yang ada di dalamnya, kini kembali tumbuh subur beraneka warna. Kelak jika suatu saat kau ingin pergi begitu saja, jangan lupa tinggalkan pesan di meja, tempat biasa kita bersua.
Namun ini bukanlah yang pertama kalinya. Aku merasakan jatuh cinta. Apakah jatuh cinta harus dirasakan pada seorang manusia? Harus dirasakan pada seorang yang berbeda jenis kelaminnya dengan kita? Dan harus diantar oleh hal-hal yang berbau manis saja? Tentu tidak bukan.
Sudah hampir tiga bulan ini terjadi, semenjak aku mengenalnya. Sosok yang sederhana, juga jauh dari kata sempurna. Tapi hadirnya buatku tak henti tertawa. Ada saja yang dibicarakannya mengusik nalarku. Ada saja celetukannya seringkali kusetujui. Ada saja topik perbincangan yang selalu menunda perpisahan kita, baik dalam jumpa yang sesungguhnya, atau hanya dalam dunia maya.
Betapa kejam dirinya, jika rasa yang kumiliki ini sedikitpun tak ditangkapnya. Meski akupun tak mampu berbuat apa-apa, selain hanya merasakannya seorang diri saja. Cukuplah kebahagiaan itu di sini. Di relung hati paling dalam tanpa perlu ada orang lain tahu. Tidak juga dia.
Aku segan menyebutnya cinta, karena makna cinta pun sampai detik ini aku tak mampu rumuskannya. Meski pada seorang profesor pun, cinta belum kutemukan kuncinya. Yang kutahu hanya sekadar beberapa indikasinya. Hati berdebar, keringat dingin membasahi sekujur tubuh, dan bibir yang tak henti tersenyum bahagia. Begitukah cinta itu?
Aku tak mengerti, sejauh yang pernah kualami, cinta hanyalah sebuah keindahan, yang semua orang memiliki masing-masing cara dalam menerjemahkan, pun juga aku, dan dirinya. Suatu saat kita bertukar warta, juga mungkin saling memberi warna dalam jiwa. Tapi siapa hendak mengakui, sedang di antara kita terpasang dinding yang sangat kokoh.
Sampai saat ini dia masih suka berseliweran, keluar masuk hatiku tanpa permisi, baginya kunci sudah ada dalam genggamnya, tak perlu lagi memohon permisi pada sang pemiliknya. Apakah cinta identik dengan pencuri? Apakah permohonan izin itu diharuskan? Mengapa jika dia mengambil tanpa sepengetahuan? Hanya aku yang tahu jawabnya, karena aku pula yang merasakannya.
Terima kasih kusampaikan padanya. Karena telah melestarikan kehidupan hatiku. Juga bunga-bunga yang ada di dalamnya, kini kembali tumbuh subur beraneka warna. Kelak jika suatu saat kau ingin pergi begitu saja, jangan lupa tinggalkan pesan di meja, tempat biasa kita bersua.
Bagus Mbak kisahnya ... saya suka.
BalasHapusTerima kasih mbak atas apresiasinya :)
Hapus