Kediri yang Lain
Aku sudah sangat sering ke Kediri, karena bagiku Kediri adalah kota penuh kekuatan, kekuatan cinta, doa, dan segalanya. Selain karena disana merupakan kota asal bude tercinta, juga karena disana ada singgahan - singgahan istimewa yang sarat akan doa dan kekuatan, diantaranya Lirboyo dan Kwagean. Namun kali ini, bagiku Kediri memberi sebuah arti yang lain dari Kediri yang setiap minggu setiap bulan aku kunjungi.
Hari jum’atnya, 29 Januari 2016, dek dita dan dek exma ke Surabaya untuk ke doraemon expo di grandcity Surabaya. Aku sudah berjanji akan menemui mereka disana. Setelah dari pameran dek exma mencari buku terbaru tere liye berjudul hujan di Toko Gunung Agung di Delta.
Cukup puas berjalan dan mencari apa yang kita butuhkan, kuantar mereka berdua mencari angkutan umum menuju bungurasih, dan aku pun kembali pulang. Dan berpikir keras bagaimana meminta izin ke bapak untuk travel writing besok ini. karena teman-teman flp Surabaya mengajak berangkat jam 4.30 dari stasiun gubeng.
Alhamdulillah setelah dibumbui beberapa alasan manis, bapak pun mengizinkan. Maka keesokan harinya, pagi jam setengah empat, aku telah bersiap berangkat menuju stasiun bersama saroh, dengan dibumbui sedikit drama taxi kesasar mencari alamat saroh dan menunggu mbak retno yang terakhir datang, kami berdua belas berangkat menuju Kediri bersama Dhoho Penataran.
Hari jum’atnya, 29 Januari 2016, dek dita dan dek exma ke Surabaya untuk ke doraemon expo di grandcity Surabaya. Aku sudah berjanji akan menemui mereka disana. Setelah dari pameran dek exma mencari buku terbaru tere liye berjudul hujan di Toko Gunung Agung di Delta.
Cukup puas berjalan dan mencari apa yang kita butuhkan, kuantar mereka berdua mencari angkutan umum menuju bungurasih, dan aku pun kembali pulang. Dan berpikir keras bagaimana meminta izin ke bapak untuk travel writing besok ini. karena teman-teman flp Surabaya mengajak berangkat jam 4.30 dari stasiun gubeng.
Alhamdulillah setelah dibumbui beberapa alasan manis, bapak pun mengizinkan. Maka keesokan harinya, pagi jam setengah empat, aku telah bersiap berangkat menuju stasiun bersama saroh, dengan dibumbui sedikit drama taxi kesasar mencari alamat saroh dan menunggu mbak retno yang terakhir datang, kami berdua belas berangkat menuju Kediri bersama Dhoho Penataran.
Tiba disana usai sarapan di emperan trotoar jalan dhoho, dengan dijemput
mbak wuri kami siap menyusuri tempat-tempat yang sepertinya akan sangat
berkesan. Hari pertama, sabtu, kami habiskan pertama di gua surawana,
disini kami menyusuri gua yang sangat sempit, hanya sebuah lorong kecil
seukuran satu tubuh manusia yang panjangnya mencapai kurang lebih 300 meter, sungguh pengalaman yang luar biasa. berbagai perasaan dan
pikiran telah berkecamuk di kepala saat menyusurinya.
Keluar dari gua yang telah ada sejak kerajaan Kediri ini, kami
melanjutkan ke candi surawana, sebuah candi peninggalan kerajaan Kediri
yang terletak tidak jauh dari Gua Surawana, setelah itu kami pun
beristirahat sejenak di rumah mbak wuri di daerah grogol.
Sore harinya setelah ashar, kami berkunjung ke kediaman mas aziz, yang tak jauh dari rumah mbak wuri, yakni hanya di tetangga sebelah, disana kami dijamu dengan sangat meneyenangkan, lalu kemudian berlanjut ke simpang lima gumul, menikmati malam minggu masyarakat Kediri sembari teman-teman mencari buah tangan. Makan malam kami di warung milik mbak ayu di daerah dekat rumah mbak wuri (kami anggap semua dekat karena pada waktu itu sudah malam dan tidak memperhatikan keadaan sekitar) dan berakhir kembali di rumah mbak wuri untuk beristirahat.
Keesokan harinya, jam empat pagi kami sudah bersiap-siap untuk menuju air terjun ngleyangan, yang mana harus melalui pendakian gunung yang dalam perkiraan semula tiga jam, ternyata membutuhkan waktu hingga empat jam untuk sampai di air terjun yang berada di badan gunung wilis itu. Ini merupakan pengalaman pertama untukku dalam mendaki gunung dalam arti yang sesungguhnya. Dan tanpa ada persiapan sama sekali sebelumnya.
Dalam bayanganku, air terjun ngelayangan itu sama halnya dengan Cuban rondo, atau lainnya yang memiliki akses sangat mudah dan ringan. Yakni tidak harus melalui medan yang sangat berat itu. Sesampainya di air terjun pada pukul 10, kami langsung terjun ke mata air yang begitu dingin itu, tanpa khawatir sakit, masuk angin atau lainnya. Padahal dalam perjalanan kali ini kami tidak membawa baju ganti, maka turun dari gunung nanti pun dengan kondisi basah kuyup. Pada pendakian perdana ini, aku berkali-kali jatuh terpeleset, pertama karena aku kurang pandai menyeimbangkan tubuh, waktunya diet, hehehe, dan juga kondisi kaki yang sebetulnya sejak awal memang tidak fit. Tapi jika tidak dijalani maka tidak akan terjadi.
Perjuangan begitu terasa ketika perjalanan turunnya. Karena hujan angin mengiringi perjalanan kami, sehingga mengakibatkan jalan bebatuan itu licin dan berlumpur, kali ini tidak hanya aku yang jatuh, akan tetapi juga banyak teman-teman lainnya berjatuhan, karena jalan yang sangat licin, sehingga sangat membahayakan untuk dilalui, ditambah lagi berkali-kali motor gunung lewat dari dua arah membuat kami beberapa saat berhenti, menepi dan memberi mereka jalan terlebih dahulu untuk lewat, lalu kemudian membuat jalan semakin licin.
Dalam perjalanan jatuh bangunku ini, semua rekan sangat membantu dalam menyelamatkanku dari ngerinya jurang yang begitu dalam, turunan tebing yang begitu curam dan berbagai rintangan seperti bebatuan yang tidak rata dan jalanan yang penuh lumpur. Diantaranya ratna dan saroh yang dengan setia menggandeng tanganku dari depan, mendahulukan dirinya untuk mencari jalan yang aman untuk kulalui, supaya tidak terpeleset. Mbak retno, ibu tiga putra yang begitu lincah dan cekatan dalam melompat dan mencari jalan yang aman meski dalam perjalanan pulang juga jatuh terpeleset. Mbak nur, seorang ibu yang sangat lembut tapi juga mampu menaklukkan gunung dengan medan sesulit kemarin ini. Mbak Utha, sesama pendakian pertama, tapi dengan sangat cermat dan hati-hati mampu membawa diri, menjaga keseimbangan tubuhnya, sehingga sampai akhir tidak terjatuh sama sekali, meski licinnya jalan membuatku jatuh berkali-kali. Mbak Wuri, diantara kami berlimabelas, beliau ini yang juga beberapa kali jatuh terpeleset, akan tetapi terus bersemangat dan antusias sebagai pendaki perdana, sama halnya denganku.
Selain para wanita diatas, aku takkan berhenti berterimakasih pada para pria dalam perjalanan ini, yakni oki yang selalu menghibur kami dengan candaan-candaan ringan dan renyah, sehingga membuat kami terhibur dan sedikit lupa dari lelahnya perjuangan panjang. Kemudian mas hendro yang beberapa kali mengingatkan kami agar tetap mengingat Allah, beristighfar dan bertakbir, karena bagaimanapun perjalanan ini adalah perjalanan ekstrim, bertaruh nyawa, memacu adrenalin, kita tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi tiba-tiba. Mas Wahyu, meski dia lebih banyak diam, tapi sangat sigap dalam menghadapi situasi sulit yang kami alami, seperti halnya ada jalan yang menuntut kami estafet melangkah, setelah jatuh pertama kali, langsung ranselku dimintanya supaya aku tidak terlalu berat, maka dia yang membawanya. Hingga perjalanan pulang, dia bertahan di belakang memastikan semua temannya turun dengan selamat. Dan pria yang terakhir adalah Mas Baim, beliau sang pemimpin di keluarga kami, meski dalam perjalanan kali ini berkali-kali mendapat bully dari teman-teman perempuan, tapi semangatnya menjaga semua anggota perjalanan sangatlah tinggi, dan kedisiplinan serta tanggung jawabnya yang besar membuat kami bisa pulang dengan aman dan selamat meski tertinggal kereta.
Tak terlupa, aku sampaikan selamat dan salut sebesar-besarnya pada anggota kecil dari rombongan kami, yakni aisyah, putri mbak nur, Fabian putra mbak wuri, dan hikam putra mbak retno. Mereka adalah anak-anak yang luar biasa, kuat hatinya, kuat mentalnya, kuat fisiknya, kuat tekadnya, kuat semangatnya, pokoknya kuat segalanya. Betapa malunya aku bisa kalah kuat dengan mereka ini. semoga kalian senantiasa dikuatkan dalam segala hal adik-adikku sayang.
Dalam perjalanan paling berkesan ini, seakan memberiku hadiah yang sangat indah dalam menyambut bulan penuh cinta, bulanku, bulan kesayanganku, bulan februari. Ada banyak pesan yang tersirat dari perjalanan penting dan luar biasa kali ini :
- Dalam hidup, kita akan selalu membutuhkan pegangan, jangan pernah merasa mampu melakukan segala sesuatu seorang diri. Pegangan yang paling utama adalah Allah, lalu kemudian kepada orangtua, guru, teman, dan lain sebagainya.
- Jangan pernah sombong dan angkuh. Diatas langit ada langit, diatas puncak ada puncak, diatas pohon tertinggi ada yang lebih tinggi. Sekali kita merasa sombong, maka sejatinya kita tidak sadar siapakah yang Maha Tinggi.
- Jangan merasa paling sengsara. Hidup ini sudah dibagi porsinya sama Allah, sama rata sama adil. Tidak ada yang lebih beruntung dari lainnya, tidak ada yang lebih susah dari lainnya. Karena kadar ujian sudah disesuaikan oleh Allah pada masing-masing hamba-Nya.
- Semua manusia di muka bumi adalah saudara. Kita diciptakan sama-sama dari tanah, kembali pun sama-sama ke tanah. Maka, tidak ada perbedaan yang kemudian memisahkan. Perbedaan adalah kewajaran, namun wajib bagi kita untuk bijak menyikapinya.
- Jangan meremehkan apapun selain kita. Siapa yang tahu bahwa nantinya, sesuatu tersebut justru menolong kita, menyelamatkan kita, atau membantu kita.
- Dimanapun kita berada, tetap berbaik sangkalah pada siapapun dan selalu ingat kepada Allah, karena Allah Maha Mengetahui segala yang tersirat di hati kita.
Eh, pimpinan perjalanannya Mbak Ratna loh. Bukan Baim.
BalasHapus;)
Tolong diteliti ya mas bacanya. Pemimpin di keluarga kami, bukan pemimpin perjalanan loh... Hehehe
HapusMas Baim rek...
BalasHapusyang mimpin Hikam. Hikam yang di depan terus
Hahaha, ratna sabar yaa :*
HapusWalaa Tamsyii Fil Ardhi Marokha.. Hehe
BalasHapusLabbaik yaa akhyy :)
Hapusmantab din, lain kali ajak2 wakaka
BalasHapus