Resensi Film NAY
Perempuan adalah manusia. Perempuan adalah makhluk hidup. Perempuan
adalah insan.
Punya hak yang harus didapatkan. Punya kewajiban yang harus
dipenuhi. Punya nafsu untuk berontak. Punya emosional yang terkadang melonjak.
Punya nurani yang sejatinya sangat lembut. Punya otak yang mampu berpikir
cepat. Punya hati yang rentan tersentuh. Punya jasmani yang indah dan menarik.
Punya pemikiran yang tak semua orang dengan mudah menerima. Punya hasrat yang
menggoda. Punya lelaki.
Djenar maesa ayu, seorang penulis novel dan cerpen dengan mayoritas
tema perempuan dan feminisme telah berhasil mengangkat salah satu novelnya ke
layar lebar yang berjudul Nay. Namanya Nay, lengkapnya Nayla Kinar. Dikisahkan
seorang artis perempuan bernama Nay ini memiliki permasalahan pelik dalam
hidupnya. Sejak lahir ia telah dihadapkan kenyataan hidup yang kurang enak. Ia
lahir dari pasangan di luar nikah yang kemudian sang ayah pergi dari tanggung
jawabnya.
Sang ibu memiliki seorang kekasih, yang ketika ia berumur Sembilan
tahun malah mendapat pelecehan seksual dari orang yang diperintahkan ibu untuk
menghormatinya itu. Belum habis disitu, menginjak usia remaja, secara terang –
terangan ibu menjual dirinya pada lelaki – lelaki hidung belang tanpa beban,
hanya dengan alasan mereka membutuhkan uang untuk menyambung hidup.
Di kehidupan metropolitan, Nay tumbuh menjadi pribadi yang liar,
berani, dan juga labil. Tak lama setelah menjalin hubungan dengan Ben, ia pun
berbadan dua. Sebelum itu, ia juga sempat terlibat hubungan terlarang, dengan teman
perempuannya. Di luar semua permasalahan yang Nay alami, jauh dalam lubuk
hatinya ia merindukan sosok ibu yang seharusnya mendampingi di saat – saat
sulit dalam hidup, namun setiap kali mengingat ibu maka kejahatan yang tak
sepatutnya dilakukan seseorang yang telah mengandungnya itu juga terbayang
jelas.
Dalam layar lebar berdurasi satu jam setengah ini, Djenar hanya
mengambil satu tokoh saja, Nay, dengan kondisi berkendara, menyetir mobil
seorang diri di jalanan Ibukota. Di luar faktor produksi film, Nenek satu cucu
ini patut diacungi jempol dalam hal mempertahankan keorisinilan karya dari
novel ke filmnya. Di saat banyak sekali komplain konsumen film karena tidak
sesuai dengan karya tulisnya, Djenar justru mengambil sebuah keputusan dalam
produksi film dengan cara yang dia miliki. Film yang banyak mendapat apresiasi
dari sesama sineas tanah air ini mendapat porsi sendiri di hati pembaca karya
Djenar.
Komentar
Posting Komentar