Resensi Film 3



Ketika liberalisme telah menguasai, maka agama dan keyakinan tak lagi memiliki arti. Benarkah ungkapan ini?

Manusia adalah makhluk sosial yang tak pernah sepi dari kebutuhan dan keinginan, nafsu dan nurani, harapan dan ambisi. Di sisi lain dia adalah makhluk sosial yang tidak bisa lepas dari makhluk lain, baik sesama manusia maupun dengan hewan atau tumbuhan. Ketika seorang manusia dihadapkan pada sebuah keinginan, apakah hubungan sosial tersebut masih terpegang dalam benaknya?

Ada sosial masyarakat yang terbentur liberalisme, ada keyakinan yang terbentur pemenuhan kebutuhan hidup, ada ambisi perdamaian yang terbentur kehormatan dan kesetiaan. Semua kebenturan ini bertemu dalam penokohan tiga sahabat yang sama – sama lahir dari sebuah pesantren dengan satu guru, namun seiring berjalannya waktu ketiganya terserat dalam pusaran modernisme dunia, sehingga melahirkan masing – masing kisah yang saling berkesinambungan.

Judulnya 3, nama mereka Alif, Lam, dan Mim, dengan latar waktu masa depan di Negara sendiri, film ini berhasil menyuguhkan imajinasi tentang ironi kehidupan kelak di muka bumi. Antara kecanggihan teknologi dipadu dengan membuncahnya semua ambisi raksasa yang semakin dipupuk subur oleh para pemiliknya. Sehingga mengalahkan sisi – sisi kemanusiaan, menghilangkan batas imajiner antara guru dan murid, dan melenyapkan indahnya kesetiaan kawan.

Dari karya visual berdurasi hampir dua jam ini dapat diambil beberapa poin penting, tentang keangkuhan pemimpin, pengaruh media, dan manipulasi berita, akan menjadi hal yang tak asing lagi di era yang semakin maju kelak. Orang yang masih memeluk erat penghormatan keagamaan akan dengan mudah diinjak – injak oleh nafas kapitalisme yang berhasil tertancap kuat di batok kepala manusia.

Bukankah dunia  ini tidak lebih dari tempat berkunjung sejenak?

Komentar

Postingan Populer