Resensi Dilan
"Cinta sejati adalah kenyamanan, kepercayaan, dan dukungan.
Kalau kamu tidak setuju, aku tidak peduli." (Milea ; 1990)
Mencintai adalah urusan hati, namun penyebabnya datang dari gerak –
gerik organ tubuh yang tampak oleh mata. Mencintai adalah pekerjaan hati, namun
gelagatnya dapat ditangkap dari ekspresi muka dan tingkah laku diri. Mencintai
adalah permasalahan hati, namun akibatnya akan tampak dari gelagat raga dan
tersirat dari warna wajah.
Sebagai gerakan hati, mencintai memiliki kaitan erat dengan
perasaan dan kenangan. Bagaimana berbagai perasaan itu berkecamuk di dalam hati
sehingga muncullah penafsiran bahwa sang pemilik hati tengah dilanda asmara.
Bagaimana serangkaian kenangan begitu susah terusir dari kepala tentang yang
dicinta sehingga timbullah berbagai rasa antara senang, sedih, bahagia,
terluka, dan sebagainya.
Jika mencintai hanyalah urusan hati, namun pernahkah kita jumpai
orang jatuh cinta sedang bermurung muka? Maka haruslah kita terima bahwa raga
adalah cerminan jiwa kita, jiwa yang bahagia akan tercermin pada raut muka yang
riang tentunya, dan jiwa yang bermuram durja akan menampilkan raut muka yang
tak mengenakkan untuk dipandang.
Terkadang otak dan hati kurang mampu bekerjasama dengan baik,
apalagi jika yang bergerak lebih dulu adalah hati, maka seringkali otak kurang
mampu mengendalikannya. Semisal jika sedang jatuh cinta, seringkali orang
berbuat di luar logikanya sendiri, tentu itu semua lantaran dorongan hati dan
perasaan yang begitu mendalam.
Buku karya Pidi Baiq yang berjumlah 332 halaman ini menerjemahkan
arti mencintai melalui kisah fiksi yang sederhana, dengan alur yang cukup
mainstream sebenarnya, namun dengan penyampaian dan bahasa yang sedikit
berbeda, cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca. Novel yang tergolong
teenlit ini mungkin akan menjadi sedikit kontroversi menurut beberapa penulis.
Beberapa diantara mereka menggolongkan pada teenlit, beberapa lainnya setuju
memasukkannya pada karya fiksi pop.
Tentu sebuah tantangan bagi Pidi untuk menceritakan peristiwa
dengan latar waktu tahun 90-an pada abad 21 ini. Pembawaan kisah yang unik
dengan alur sederhana namun bahasa yang berbeda tentu harus sesuai dengan latar
tempat dan waktu yang dibawakan, sehingga kisah fiksi ini menjadi masuk akal
dan dapat diterima dengan baik oleh para pembaca.
Kisah asmara para siswa SMA di masa itu diramu sedemikian rupa oleh
Pidi sehingga tidak hanya terdefinisikan sebagai cinta monyet yang cepat
berlalu seiring berjalannya waktu. Cinta apapun namanya, jika sudah bernama
cinta, siapa yang mampu membeda-bedakan jenisnya? Bukankah semua hati berhak
mencintai dengan begitu sempurna? Tak peduli anak balita, seusia sekolah,
kuliah ataupun orang dewasa?
Karena cinta adalah anugerah hati terindah dari Tuhan Sang Pencipta
dan Maha Mencintai, maka manusia tidak akan mampu menafsirkannya dengan utuh
dan sempurna. Perjalanan menuju jatuh cinta juga begitu beragam, Dilan dan
Milea dalam novel karya Pidi Baiq yang keluar pada bulan April tahun 2014 ini
memberikan salah satu contoh perjalanan indah itu dengan ramuan diksi dan
percikan konflik yang berbeda. Beberapa dari pembaca mungkin mengiyakan kisah
ini karena mengingatkan akan kisah mereka dalam kehidupan nyata. Cuplikan –
cuplikan romansa remaja sengaja dibeberkan Pidi sebagai bumbu yang sangat
menarik bagi pembaca dari berbagai jenis usia. Selamat menyelami kisah cinta
Milea dan Dilan dalam samudera bahasa disini. (din)
Komentar
Posting Komentar