Sastra sebagai ekspresi, dan sastra sebagai komunikasi
Tak perlu kuceritakan apa itu
cinta dan benci, tak perlu kujabarkan suka dan luka, tapi cukup dirasakan dalam
hati, apapun yang terlintas dalam benak dan jiwa atas sebuah peristiwa yang
menimpa.
Satu hari kenyataan itu datang
padaku, telak dan tanpa kubohongi, aku cukup merasa terpukul dibuatnya, tapi
ternyata tak membuat airmataku tumpah, jadi bagiku masih berada pada taraf
dimana aku masih baik-baik saja. Mungkin.
Hingga satu per satu komentar dan
perkataan orang-orang terdekat datang menghampiri telinga dan meresap dalam
kalbuku, seakan mengoyak ketegaran yang dari semula memang tidak terlalu kuat.
Di hadapan mereka aku mampu memasang manisnya senyum dan menahan getirnya luka.
Tapi, hati juga ciptaan Tuhan yang mendapat hak sama untuk dibahagiakan dan
mampu merasa disakitkan.
Aku mendapat keputusan bulat
bahwa aku tidak bisa menyelesaikan studiku dalam waktu empat tahun atau tepat
waktu, melainkan harus menambah satu semester menjadi empat tahun setengah,
begitu istilahnya di kalangan kami para mahasiswa. Dan kenyataan inilah yang
membuatku sedikit tergoyahkan. Tapi aku yakin, sebagai putri ibu, aku tidak
boleh lemah dan rentan, bukankah semua ini sudah menjadi takdir-Nya?
Malam hari setelah keputusan itu
datang dan pasti, aku berkumpul dengan mereka sahabat yang memiliki visi dan
nasib sama sepertiku, kami sedang merencanakan hal luar biasa di kebiasaan
lingkungan sekitar kami, yakni kampus kami. Pada pertemuan ini, kabar sakit
siang tadi sedikit terhibur dan cukup teralihkan perhatiannya meskipun kurasakan
tak semenarik pertemuan-pertemuan sebelumnya.
Belum habis prihatinnya diriku
atas berita hangat itu, fisik mulai sedikit terpengaruhi, merasa berat memang,
tapi aku masih punya keyakinan itu, bahwa kekuatan masih tersisa di kedua bahu
ciptaan Tuhan Maha Pemberi kekuatan ini. Aku Cinta Allah.
Jum’at memang selalu memberi
cerita indah, selain dua puluh satu tahun lalu tepat pada tanggal sebelas
Februari, yakni hari lahirku. Keindahan lain terjadi pada hari ini, tanggal dua
puluh delapan tahun dua ribu lima belas. Tulisan ini lahir di sisa-sisa hari
ini, dalam rangka menceritakan serangkaian kisah indah di dalamnya.
Mula-mula masih pagi sekali meski
perut sedikit tidak bersahabat, rutinitas ngopi pagi ku tidaklah terganggu,
syukurlah. Sebelum meneguk secangkir kopi, kujalankan satu agenda yang cukup
berat dan memang sudah lama tak kulakukan, yakni membersihkan kamar mandi (red.
Baca : nguras jeding). Masih terngiang dalam benakku kalimat almarhumah ibunda
tercinta, ‘jika hatimu merasa sedikit resah, sumpek, mungkin ada yang kurang
bersih disana (hati), tapi langkah paling awal untuk menjangkau yang tak
terlihat mata adalah dengan membereskan yang terlihat oleh mata’ , yang
dimaksud disini adalah bersihkan badanmu, ragamu, milikmu yang terlihat, juga
lingkunganmu, tempat tinggalmu, hingga tempat ternyamanmu, yakni kamar mandi.
Betul apa yang dikatakan wanitaku
tercinta itu. Aku begitu merasa lega dan bahagia seusai melihat kamar mandi
kinclong berkat kerja keras tanganku sendiri. Pagi telah dimulai dengan satu
keindahan kecil.
Beranjak sedikit siang, salah
satu sahabat dekatku berkunjung, meski tujuan asalny untuk menyelesaikan
kepentingannya, dia ternyata datang tidak dengan tangan kosong, dia membawa
bingkisan. Setelah dua bulan setengah perantauannya untuk kerja praktek di kota
tuan rumah malioboro ini menghadiahkan padaku sebungkus bakpia greentea dan
keju, juga sebungkus teh asli djogjakarta. Terimakasih sahabat, hanya Tuhan
yang membalas mulianya hatimu.
Matahari semakin naik, aku segera
melangkahkan keluar dari rumah, dengan tujuan kampus dengan logo dewa
Airlangga. Disana sedang beristirahat mereka orang-orang tercintaku, wik Anik
berikut tiga permata hatinya yang tentu juga adik-adikku tersayang. Dalam
rangka menunggu dik Exma menyelesaikan tes TOEFL kami menikmati semilir angin
di kampus yang mayoritas bercat biru ini. Lepas jam 11 siang, kami semua
melanjutkan perjalanan, menuju Hi-Tech Mall, dengan beberapa tujuan.
Diantaranya adalah memenuhi kebutuhan wik dan adik-adik, yakni laptop, mouse,
speaker, dan lainnya begitu banyak. Makan siang pun kami nikmati di mall pusat
gadget dan computer ini.
Waktu berlalu begitu saja hingga
sampai pada angka empat belas lebih tiga puluh, kami keluar dari Hi-Tech Mall
dan aku minta diturunkan di Surabaya Plaza atau dahulunya lebih terkenal dengan
nama Delta Plaza, sampai disana aku bertemu Carol dan Ceny, sahabatku ketika
magang kerja di Majalah PadMagz. Kami memang telah merencanakan untuk menonton
salah satu film yang sedang ditampilkan di bioskop 21, yakni The Battle of
Surabaya.
Satu jam lebih empat puluh lima
menit berlalu, film yang menceritakan sejarah pertempuran sepuluh nopember
Sembilan belas enam lima di Surabaya itu terasa masih tertinggal dalam benak
kami, dengan alasan tiada lain karena tersihir dengan ketampanan salah satu
pemainnya, yaitu Mas Danu. Film yang cukup mengocok perut ini berkonsep animasi
namun dengan alur maju dan sejarah yang kental berusaha sekuat mungkin
ditanamkan dalam pelataran dan penokohan di dalamnya.
Setelah puas mengabadikan momen
bersama di beberapa sudut bioskop, kami bertiga berpisah, aku dan carol
memutuskan untuk langsung berangkat ke Kedai Kreasi, sedangkan Ceny lebih
memilih untuk ke Toko Buku Gunung Agung. Karena memburu waktu kami berdua
memilih taxi untuk mengangkut kami kedai baru penuh inspirasi yang berlokasi di
Ketintang baru selatan ini.
Tiba disana langsung kami bersua
dengan sang pemilik kedai, bunda Wina dan mas Sol, juga satu tamu besar mereka,
yakni tiada lain beliau yang sudah kutunggu pertemuannya dengan beliau, Damhuri
Muhammad. Seorang sastrawan, budayawan, dari tanah minangkabau yang kini
berdomisili di Jakarta pinggiran, tepatnya Depok. Dalam acara kali ini, beliau
menggelar bedah buku karya terbaru beliau berjudul Anak-anak Masa Lalu.
Setelah berkenalan, aku langsung
pamit sejenak untuk menunaikan kewajiban hamba kepada Tuhan-Nya. Lalu kemudian
perbincangan-perbincangan hangat itu mulai. Mulai dari basa-basi hingga saling
mengenal dengan beliau membuat rasa kekagumanku semakin muncul. Karena
sebelumnya memang aku tidak begitu mengenal sosok beliau, hanya pernah beberapa
kali membaca cerpennya yang termuat di media dalam beberapa waktu.
Hingga sampai pada
pertanyaan-pertanyaan yang menggellitikku, tentang jurusan dimana aku menimba
ilmu saat ini. Ketika kukatakan aku dari kampus ITS, beliau sempet kaget, tapi
setelah menanyakan jurusanku, lalu kujawab arsitektur, beliau tersenyum dan
memaklumi. ‘Oh iya, arsitektur itu kan juga seni, sebenernya dia itu bukan
teknik lo, arsitektur itu seni, karya seni itu’.
Sedikit rasa bangga terkembang di
balik dadaku. Lalu ketika ditanya mengenai kecondongan jenis tulisan, kujawab
tentang jurnalistik, beliau manggut-manggut dengan muka serius, seakan
menyetujui apa yang telah kujalani ini. Kusempatkan sisipan cerita mengenai
kelahiran komunitas baru di kampus yang sedang dalam perjuangan rintisanku
bersama sahabat-sahabat setujuan. Beliau begitu antusias dan sangat mendukung,
satu pesan beliau yang berulangkali beliau tekankan adalah kebebasan. Karena
komunitas memang lahir dari hobi dan cinta, jika orang sudah cinta dan
menjadikannya hobi, maka kebebasan akan mengarahkannya tanpa membuat sedemikian
rupa aturan beraneka macam. Terimakasih Mas Damhuri, masukan dari mas Dam
membangkitkan semangatku.
Waktu beranjak semakin malam,
satu per satu tamu mulai berdatangan, dan semakin larut, hati ini rasanya
semakin berseri, karena benar-benar malam ini adalah malam sangat mengesankan.
Disini aku bersua langsung dengan beliau-beliau yang sudah tidak muda lagi,
beliau-beliau yang pengalamannya sudah begitu kaya, dan sangat berdedikasi pada
seni dan budaya. Diantaranya ialah mbak vika wisnu, pak shoim anwar, bu sirikit
syah, pak achudiyat, cak rokhmat giryadi, mas Alveng, mbak deny, dan begitu
banyak lainnya yang belum semput kulo nuwun satu per satu, dan tentu sang
bintang adalah mas Damhuri Muhammad. Jujur, kemarin saya salah melafadzkan nama
mas, saya menuliskannya Damanhuri Muhammad, maaf ya mas.
Diskusi mengalir semakin larut
semakin khusyuk, dengan taraf keilmuan dan pengalaman yang setara membuatku
sebagai kawula muda hanya mampu melongo penuh kagum menyimak perbincangan yang
begitu luar biasa. terlebih pada sela-sela diskusi terdapat penampilan para
sahabat untuk membaca cerpen, yaitu mas Bagus dan istri, juga Cak Giryadi.
Sepulang dari Kedai Kreasi tepat
pukul sepuluh malam, bagi musim liburan seperti ini, waktu itu tergolong sudah
sangat malam. Bersama Saroh, aku pun menyusuri perjalanan pulang dengan hati
sangat riang dan bahagia. Rasanya begitu lembut, tenang dan menyusup halus ke
dalam hati. Beginikah rasanya hati ini jika dia telah temukan obatnya?
Beginikah rasanya bangkit dari lumpuh yang begitu mengejutkan dan mendebarkan.

tulisanku ini’. (din)
Komentar
Posting Komentar