Resensi Novel RINDU



RINDU, mendengar satu kata ini rasanya bulu kudukku begidik ngeri, ada yang meleleh di hati ini, begitu dingin dan kaku, tapi jantung berdetak begitu cepat, seperti akan menjemput ajal, atau setelah berlarian puluhan kilometer tanpa henti. Habis semua kata untuk menjelaskannya, letih semua abjad untuk mendeskripsikannya, tapi dia tetaplah seonggok rasa dengan aroma pilu, dingin, dan beku. Iya, semua yang berbau rindu terasa beku. Tak lain juga hati, ia begitu merah menyala, basah dan selalu bergairah, tetapi jika satu sosok itu menghinggapinya, maka hilanglah semua kehangatan itu, tersisa kebekuan membisu, tiada seorangpun mampu mencairkannya, selain satu-satunya sosok yang ia rindu.
Tere Liye telah mengambil keputusan besar, tulisan fiksinya yang berjumlah 544 halaman, diterbitkan oleh Republika ini berjudul RINDU, isinya tak lain adalah kisah sebuah perjalanan Kapal Uap besar bernama Blitar Holland, yang berlayar pada tahun 1938 dari pesisir Nusantara menuju Negeri Timur Tengah dengan tujuan yang sangat mulia, yakni menunaikan rukun islam yang kelima, beribadah haji. Dengan sekian ratus penumpang yang ada, ia menjabarkan kisah beberapa orang diantaranya dengan berbagai konflik tertentu, dengan masa lalu masing-masing, di setiap daerah dimana kapal berlabuh untuk sekedar mengambil penumpang dan atau menambah bahan bakar, baik bahan bakar kapal maupun persediaan pangan bagi penumpang.
Ada keluarga Daeng Andipati, Gurutta Ahmad Karaeng, Kapten Phillips, Keluarga Eyang kakung, Bonda Upe dan suami, Ruben, Koki Lars, Seargent Lucas, Pak guru Mangunkusumo dan satu rekannya, hingga yang menjadi tokoh utama adalah Ambo Uleng. Dari tujuh belas tokoh yang tergambar jelas kisahnya, judul RINDU ini lahir dari kisah si pemeran utama, ini sudah tidak diragukan lagi. Namun sejatinya RINDU ini ada pada semua insan yang turut serta Blitar Holland ini berlayar. Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan sebuah perjalanan, maka saat itu pula ia bersiap dengan satu rasa besar ini, RINDU. Entah RINDU pada tujuan yang akan dicapainya, ataupun RINDU pada tempat dimana nantinya ia kembali pulang.
Dari tokoh-tokoh yang dimunculkan pada novel ini, kesemuanya memiliki pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan masa lalunya, yang kemudian diatas kapal ini soal kehidupan yang pelik itu mampu terjawab satu per satu. Hampir semua pertanyaan yang mereka miliki mampu dijawab oleh Gurutta, sesepuh yang dianggap mampu menjawab semua permasalahan, memberi solusi cemerlang, dan menumbuhkan harapan hidup baru. Tentunya kecuali pertanyaan beliau sendiri, ia mampu mendapatkan jawaban dari kelasi kapal yang menjadi tokoh utama di serangkaian kisah ini, yakni Ambo Uleng.
Satu hal yang kurang saya merasa puas dari penyajian novel ini adalah penggambaran setting dengan waktu yang dipaparkan. Kondisi kapal yang dibayangkan pembaca masihlah kapal layar besar masa kini dengan fasilitas lengkap dan penumpang bisa dengan bebas beraktifitas sehari-hari di dalamnya dengan tenang. Padahal, pada tahun 1938, kenyataannya kondisi Negara kita tentu tidak setenang itu, dengan ancaman penyerangan, penyekapan, pembunuhan oleh tentara belanda akan datang setiap waktu kurang sesuai dengan kondisi suasana kapal pada saat itu. Begitu juga kesesuaian waktu di awal cerita tentang berapa lama kapal akan berlayar hingga akhirnya tiba di Jeddah hingga pulang kembali memakan waktu hingga Sembilan bulan, akan tetapi pada bab-bab berikutnya dikisahkan hanya dalam waktu tiga minggu kapal sudah tiba di Jeddah untuk perjalanan berangkat, bukankah perhitungan itu kurang tepat? Atau mungkin ada keterangan yang terlewatkan dari perincian Sembilan bulan itu meliputi waktu apa saja.
Di luar itu semua, saya menilai novel ini cukup baik dalam menanamkan peran sesuai pembuktian aksi pemeran dalam beberapa adegan, bumbu-bumbu kisah cinta yang diberikan terkesan biasa saja dan disampaikan dengan cara senatural mungkin. Pemerataan peran dan kisah dari para tokoh juga cukup menyeluruh, dari perbedaan jenjang usia, pendidikan, kekayaan, hingga derajat dan asal daerah mereka cukup mewakili daerah-daerah besar Negara Indonesia yang cukup maju di masa itu.
Selamat berlayar di samudera kisah, jemputlah rindumu dimanapun ia berada, karena pulang adalah tempat kembali terindah.

Komentar

Postingan Populer