Tentang aku, Dewi Lestari dan “GELOMBANG”nya
3 April 2015, hari ini
tanggal merah, aku yang sedang menempuh titik jenuh perkuliahan semakin
terkulai lemas di kamar seharian, didukung nyeri pada perut bulanan pada
perempuan, melengkapi keakrabanku dengan bantal dan lantai kamar pada hari ini.
Novel yang sedang hits
jadi best seller ini sudah dua minggu lebih bertengger di rak bukuku, tapi
sampai tadi pagi aku baru tersentuh untuk membacanya. Dan asal kalian tahu, apa
yang terjadi, aku telah tersihir oleh tipu daya dan imajinasi Dee secara
sempurna. Dalam sehari penuh hanya terpotong mandi, buang air kecil dan makan,
buku setebal 474 halaman ini telah sukses berpindah ke secuil bagian dari
memori di otakku.
Selama ini aku lebih
bangga mengenalkan diri sebagai penulis daripada sebagai mahasiswi arsitektur,
pertama karena aku tidak bisa menggambar dengan baik, kedua karena aku masih
belum bisa melepas kenyataan bahwa langkahku mengambil disiplin ilmu ini
bukanlah murni atas kehendak hati nuraniku, dan ketiga, aku masih dan takkan
lari dari hobi dan kegemaranku membaca dan menulis sejak dalam pangkuan ibu
sampai detik ini dan selamanya.
Dari kenyataan ini aku
tak pernah mengontrol kebahagiaanku ketika disodori sebuah buku, entah fiksi
maupun nonfiksi, ketika bersua dengan seorang tokoh karya, baik sastrawan
maupun ilmuwan, baik kuli tinta maupun penulis biasa. Siapapun orangnya aku
masih selalu berdecak kagum mendengar ceritanya, motivasinya, dan yang pasti
menanti inspirasi darinya.
Tak terkecuali Dewi
Lestari, aku telah mendengar namanya sejak aku masih duduk di bangku SMA, saat
itu bukunya yang tenar adalah Supernova, Bintang Jatuh. Aku cukup tertarik
membaca sekilas biografinya, kecenderungan karyanya, dan ide-ide gilanya yang
membuat pembaca mengerutkan kening lebih lama dalam menikmati gelombang goresan
penanya. Sampai akhirnya lahirlah bukunya berjudul Filosofi Kopi, yang awalnya
kupikir adalah novel seperti Serial Supernova, tapi setelah aku membelinya,
ternyata isinya adalah kumpulan cerpen semi esai yang dengan seketika aku
tersihir olehnya lantaran judul globalnya mengandung sebuah minuman kegemaranku
sejak sepuluh tahun belakangan ini. kini aku bersedih karena Filosofi Kopi-ku
belum juga kembali ke panguanku, entah siapa yang meminjamnya aku lupa, hiks…
Tahun 2013, aku mendapat
kesempatan menjadi bagian dari keluarga besar Kementerian Komunikasi dan
Informasi di organisasi mahasiswa tertinggi di kampus, yakni Badan Eksekutif
Mahasiswa. Disini aku semakin bahagia karena secara langsung membuka jalan lebar
untuk bertemu dengan para penulis yang selalu luar biasa di mataku. Waktu itu,
di akhir tahun 2013, kami panitia seminar kepenulisan POSEIDON, sedang berburu
penulis untuk menculiknya sebagai pembicara pada event besar tahunan ini,
diantara nama yang terbersit di kepalaku saat itu ialah Dewi Lestari, setelah
kami mencari kesana kemari kontaknya yang bisa dihubungi, namun ternyata
jawabnya sedikit mengecawakan. Beliau sangat mengapresiasi permohonan kami,
tapi apa hendak dikata, waktunya kuranglah tepat, dalam surelnya, dia menjawab
sampai tahun 2014 beliau belum bisa memenuhi permohonan para penggemarnya. Dan
alasannya adalah karena dia sedang merampungkan satu proyek novelnya, lanjutan
dari serial supernova. Mendengar hal itu, aku sedih juga sekaligus antusias.
Sedih lantaran masih belum bisa mengawal beliau mengisi seminar POSEIDON di
kampus kami pada tahun itu, dan antusias karena aku merasa menjadi bagian yang
turut menanti kelahiran ‘putra’ beliau tidak lama lagi. Saat itu juga saya
berpikir, bagaimana bisa saya mau menjadi penulis sesungguhnya, mau membuat
cerpen atau puisi saja semuanya dipikirkan secara mendadak, instant dan
tergesa-gesa. Aku merasa sangat malu dengan mbak Dee, beliau yang sudah punya
nama besar, tulisannya luar biasa, karyanya dimana-mana begitu sangat
menghargai proses kelahiran karyanya, itu satu pelajaran penting yang saya
ambil dari sikap professional beliau sebagai seorang penulis. Keren!
Pada akhir tahun 2014,
aku masih suka mengikuti berita beliau meskipun tidak bisa dibilang sebagai
penggemar berat, karena proporsiku padanya masih berbanding sama dengan para
penulis terkenal yang aku kenal lainnya. Seketika saat menyempatkan diri
berkunjung ke salah satu toko buku di pusat perbelanjaan di Surabaya, saya
lihat poster itu telah bertebaran dimana-mana, Gelombang telah hadir! “Anak”
mbak Dee telah lahir! Betapa bahagianya hatiku melihatnya. Sayangnya saat itu
kondisi isi dompetku sedang sangat mengkhawatirkan, bisa dipastikan jika aku
nekat membelinya saat itu maka kemungkinan besar untuk seminggu kedepannya aku
harus berpuasa penuh tanpa berbuka dan sahur, alangkah tragis bukan kehidupan
mahasiswa perantauan ini! akhirnya kutahan hasrat itu sembari terus menyisihkan
sekian rupiah tiap harinya untuk nantinya suatu saat mampu membelinya dengan
uang hasil tabunganku sendiri. Di sisi lain aku juga meluaskan jaringan dengan
para sahabat penggemar Dee barangkali salah satu dari mereka telah mempunyai
hak milik atas si Gelombang itu.
Beberapa bulan sebelumnya
aku rela merogoh kocek beberapa lembar untuk mengantre membeli tiket nonton
film yang lahir dari novel fenomenal beliau, Supernova ; Ksatria, Putri, dan
Bintang jatuh. Meskipun ingatanku telah membaca novel itu hilang antara yakin
atau tidak telah membacanya, dan meskipun kualitas perfilman Indonesia masih jauh
di bawah film eropa, aku sangat menghargai pemikiran mbak Dee sedemikian
dahsyatnya merangkai imajinasi dengan ilmu pengetahuan begitu hebat, hingga
untuk mevisualisasikan sangatlah rumit kurasa, dan akan lebih indah jika
masing-masing pembaca membangun imajinasinya sendiri pada memori mereka. Tapi
di luar itu semua aku sangat berterimakasih pada produser dan sutradara, telah
membantu menerjemahkan imajinasi mbak Dee dengan sebaik mungkin. Overall, I am
very excited about that! Amazing!
Awal tahun 2015, aku
mendengar akan ada karya mbak Dee lagi yang akan difilmkan, betapa bahagianya
mendengar hal itu, apalagi setelah kutahu ternyata yang dipilih adalah filosofi
kopi. Disamping aku juga telah lama menyimpan film rectoverso di laptopku dan
tak pernah bosan menikmatinya berkali-kali. Kemudian kutemukan sebuah poster
dari salah satu grup di akun sosial mediaku, bahwa film filosofi kopi akan
melakukan roadshow to campus, dan apa yang terjadi, di Surabaya salah satu
universitas yang dipilih adalah kampusku, betapa bahagianya aku saat itu. Tak
peduli dosen yang ada di kelasku waktu itu, segera setelah absen aku menyelinap
keluar bersama salah satu teman aku berlari ke gedung dimana Rio Dewanto dan
para tim filosofi kopi movie sedang berbincang, beruntungnya kami berdua, acara
belum usai, dan kami mendapat kesempatan selfie bersama mereka di penghujung
acara. Meski aku lebih ingin bertemu mbak Dee, setidaknya Rio Dewanto juga
sangat sering bertemu beliau dalam proses pembuatan film ini, dan aku telah
bertemu dan berfoto bersamanya...
Maret, sekilas kembali
kudapatkan info menarik, lagi-lagi tentang mbak Dee, yakni ada lomba membuat
review tentang gelombang, dan 20 orang yang terpilih dalam satu kota akan
diberi kesempatan untuk hadir di Coaching clinic bersama beliau langsung,
betapa bahagianya (lagi) aku, namun aku tetaplah manusia biasa yang dianugerahi
lupa, tetaplah mahasiswi yang terlalu sibuk dengan tugas kuliah dan organisasi
sampai lupa pada hal penting yang sudah kuimpikan itu. Pertama, tabunganku
belum mencapai target untuk membeli si Gelombang itu, kedua, aku belum
menemukan sahabat yang telah memiliki Gelombang dan telah selesai membacanya,
ketiga, baru kuingat kembali ada lomba itu saat deadline-nya tertinggal 24 jam,
dan kondisinya aku sedang ada pada rapat keorganisasian yang tidak bisa aku
wakilkan. Mbak Retno, terimakasih banyak telah meminjamkanku Gelombang, meski
waktunya kurang 24 jam, dia adalah salah satu sahabatku yang merupakan
penggemar setia mbak Dee, dia mengikuti lomba itu, telah dia selesaikan
review-nya dengan baik dan aku sangat men-support-nya, meski ternyata dia belum
mendapatkan kesempatan emas itu, tetap semangat ya mbak Retno, kita pasti bisa
ketemu mbak Dee di lain tempat, pasti itu!
Pada hari yang kurang 24
jam deadline lomba daerah Surabaya itu, kubaca poster pengumuman buat mereka
yang ada di kota semarang, dan di nomer urut pertama aku sangat familiar dengan
nama itu, mbak Dian Nafi! Wow, aku baru baru saja menerima sebuah antologi
kisah nyata tentang emak-emak penulis yang luar biasa, dan beliau juga termasuk
ada disana, selain mbak retno dan beberapa emak hebat lainnya. Aku telah
mengenal mbak Dian Nafi cukup lama, entah kenapa mengetahui sosoknya yang luar
biasa sangat menginspirasiku, selain karena latar belakang beliau dari dunia
arsitektur menciptakan kedekatan batin yang lebih padaku. Bahkan aku sudah
me-request satu naskahku untuk diterbitkan pada penerbit asuhannya, sungguh
mbak Dian, engkau wanita luar biasa yang sangat langka ditemukan! Proud of you,
mbakku!
Waktu telah berlalu
hingga tiba tanggal dimana pengumuman pemenang lomba review Gelombang kota
Surabaya, aku turut bersedih karena tak kutemukan nama mbak Retno disana, tetap
semangat mbak Retno! Dan asalkan kalian tahu, nama pertama yang ada pada urutan
daftar pemenang itu lagi-lagi bukan orang asing bagiku, dia adalah mas Stebby,
wow! Pertama kali aku mengenalnya di komunitas susastra nusantara asuhan bunda
Wina, mas Stebby ini tidak hanya seorang penulis, melainkan juga pemain drama,
teater, dan berbagai keahlian seni lainnya. Lelaki asal probolinggo ini telah
melahirkan puluhan bahkan ratusan cerpen dan puisi bertebaran dimana-mana,
pernah naik panggung yang sama dengan yang pernah dia naiki menjadi satu
kebanggaan tersendiri buatku. Mas Stebby keren!
Berbicara tentang sosial
media, aku masih cukup setia dengan facebook, meski hanya sekedar memantau,
mengambil tugas kuliah, atau sekedar pelepas penat melihat para idola dan
menyapa teman dan sahabat jauh. Akan tetapi tak dapat kupungkiri, dari facebook
pula aku mendapat banyak sekali inspirasi dari mereka yang luar biasa.
Diantaranya, meski aku tidak bisa ikut serta coaching clinic bersama mbak Dee
secara langsung, tapi melalui catatan dua orang hebat diatas, aku merasa
menjadi bagian dari mereka, meskipun tidak secara fisik. Yakni mbak Dian Nafi
dan mas Stebby, terimakasih mbakku masku, kalian membuatku merasa tercerahkan,
dan semakin menghantuiku untuk segera membaca Gelombang yang telah dua minggu
lebih ini nangkring di rak bukuku.
GELOMBANG. Karya mbak Dee
susah ditebak, science-nya dapet, fiksinya dapet, imajinasinya dapet, romance-nya
dapet, dan semua itu dikemas begitu indah dan sempurna oleh perempuan yang
berzodiak sama denganku ini. kening berkerut, bulu kuduk meremang, dan airmata
mengalir, itulah ekspresi fisik yang kualami saat menyelami Gelombang dalam
waktu kurang dari 12 jam hari ini. untuk Alfa dan segala mimpi dan kehidupan
dimensi lainnya, aku harus acungkan jempol untuk mbak Dee, tidak semua penulis
mampu menyihir pembacanya sedemikian rupa. Dan untuk ekspedisi dan riset serius
yang dilakukan mbak Dee selama bertahun-tahun hingga harus menolak beberapa
undangan pembicara pada seminar-seminar, aku geleng-geleng kepala, gila! Untuk
membuat sebuah novel science fiction pun, seorang professor mungkin akan kalah
dalam perjuangan panjangnya melakukan penelusuran dan pencarian informasi yang
kemudian dirangkainya dengan sempurna dengan imajinasi yang sangat liar dan di
luar ekspektasi logika manusia biasa.
Mbak Dee, aku
tunggu INTELIGENSI EMBUN PAGI!
Komentar
Posting Komentar