Seperti Mimpi

Adakah yang lebih kita impikan selain hal-hal yang membahagiakan yang telah lama kita harapkan? Adakah yang lebih menggiurkan selain hal-hal yang menyenangkan menurut kita, dan membuat hati kita begitu berbunga-bunga? Adakah yang lebih terasa manis selain menikmati momen indah itu dengan wajah berseri-seri dengan senyum terukir di bibir begitu manis? Kebahagiaan itu dari hati, namun tergambar jelas di raut muka, terutama oleh kedua mata.

Hari ini tak ada yang lebih indah dari semua mimpi-mimpi indah sejak aku mengenal dunia kepenulisan, hari ini tak ada yang lebih menyenangkan selain merayakan sebuah peristiwa yang sudah lama kunanti dan kurindukan, dan hari ini pula aku masih tak mempercayainya, semua masih seperti mimpi, yang tak tahu kapan aku akan mengalaminya di dunia nyata.

Dan hari ini memang nyata terjadi, sang idola yang kurindukan sejak aku masih ingusan, sejak aku masih belum fasih membaca, sejak aku masih belum lihai menulis, sejak aku masih belum mengenal dunia dan seisinya. Nama penanya PIPIET SENJA, banyak dari sahabat dekat dan keluarga mempertanyakan kenapa aku mengidolakannya, namun sebagaimana cinta sejati, aku tak mampu memberi alasan yang masuk akal, karena aku sendiri pun tak pernah memahami apa yang sesungguhnya kurasakan pada beliau. Yang ada dalam benakku, aku menyukainya, menyukai tulisannya, model tulisannya, kisah yang tertutur dari goresan tangannya, cara beliau dalam menorehkan kisah demi kisah, bahkan seakan aku mampu meraba satu per satu rangkaian huruf beliau dalam menyusun cerita.

Bayangkan, sejak kelas 3 SD, saat aku berada pada masa-masa paling ketagihan dalam membaca, dan kebetulan pendidikan kedua orangtua di rumah yang melarang putra putrinya menikmati sajian televisi, membuat kami sekeluarga mempunyai agenda wajib ‘merampok’ isi toko buku pada tiap akhir pekan. Saat itu, Ibuk sengaja membiarkan aku memilih buku apapun yang aku inginkan. Hingga suatu saat masih di usiaku saat kelas 3 SD itu, aku mengambil buku karya PIPIET SENJA, entah yang berjudul apa saja, karena ingatanku telah jauh tertumpuk puluhan buku beliau lainnya yang masih setia duduk manis di rak bukuku di rumah.

Waktu bergulir dengan cepat tanpa terasa, aku mulai mengenal dunia internet dan segala kecanggihannya, kunikmati segala fitur yang membuatku mengenal beliau sang idola, kuselami kehidupan maya yang begitu menggiurkan dan menjanjikan berbagai kesenangan dan kebahagiaan yang terkadang semu. Namun tidak bagiku, hingga akhirnya aku mendapatkan nomer ponselnya, saat itu bahagiaku tak kepalang, bagaikan mendapat durian runtuh, aku yang masih remaja awal dan baru saja dipercayakan boleh memegang ponsel sendiri akhirnya memberanikan diri menghubungi beliau, setelah sebelumnya telah memberanikan diri menyapa diri melalui beberapa akun sosial media beliau di dunia maya. Menit demi menit berlalu, hingga masuklah sebuah pesan baru, dari nomer yang hampir aku hafalkan di luar kepala, dan jawaban yang telah lama aku nantikan itu, meski terkesan sedikit cuek, namun bagiku bagaikan aliran air segar yang begitu segar dan mengobati dahagaku di gurun sahara.

Sejak saat itu komunikasi kami cukup lancar, dan hari-hariku pun berjalan seperti biasa, angka usiaku makin bertambah dan kedewesaanku semakin terpupuk. Namun satu keinginan kecil dalam lubuk hatiku tak mampu kusembunyikan letupannya, tiada lain ialah bermimpi bertemu beliau, entah kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun.

Tahun 2014, amanahku bertambah, namun tak merubah sedikitpun keinginan masa kecilku, isi buku di lemariku semakin banyak, dengan nama penulis yang sudah beragam, aku mulai melebarkan wawasan untuk membaca karya-karya penulis-penulis terkenal lainnya, kupelajari semua cara menulisnya, dan kuhayati bagaimana jenis karya mereka, dan ini semua takkan membunuh rasa kagum, sayang, dan cintaku pada Bunda PIPIET SENJA.

Dari beliau aku mulai mencintai dunia kepenulisan, dari beliau aku belajar bagaimana menjadi perempuan yang tangguh, dari beliau aku belajar bagaimana besarnya kasih sayang seorang ibu pada anak dan sebaliknya, dari beliau aku belajar bagaimana menjadi wanita yang tegar dan kuat menjalani terjalnya kehidupan di dunia, dan dari beliau aku belajar bagaimana percaya akan diri sendiri untuk mampu menyelesaikan semua masalah.

Sore itu, tanggal 27 September 2014, aku sudah meminta izin pada anggotaku di lembaga pers mahasiswa untuk meninggalkan sejenak UKM Expo yang kebetulan juga diadakan pada hari itu dan keesokan harinya, setelah menemui Pakde Bude yang menghadiri wisuda Mbak Liha di Jatim Expo pada siang harinya, aku bersama Saroh langsung meluncur ke rumah Mbak Wuri, dalam perjalanan kami diuji dengan motor Saroh yang sedikit bermasalah pada jerujinya. Dengan hati-hati kami mencari alamat rumah Mbak Wuri yang baru hingga akhirnya sampai tanpa tersesat. Tepat pukul 16.00 kami sampai namun ternyata belum ada tanda-tanda kehadiran Bunda disana. Perasaanku sudah tak karuan, seperti akan bertemu kekasih saja, bahkan ketika akan ketemu lelaki yang kucintai pun aku tak merasa setegang ini J

Rupanya Bunda dan teman-teman dari Banyuanyar, Pamekasan yang mengantarnya mengalami sedikit kebingungan dalam mencari rute menuju rumah Mbak Wuri. Dua jam berlalu, hingga Mbak Sinta dan keluarga sudah datang, Bunda masih belum juga datang, rumah Mbak Wuri mulai ramai dengan kehadiran teman-teman yang sama-sama menanti Bunda, tapi perasaanku jauh lebih tegang daripada raut muka mereka semua. Ada yang karena sebagian memang sudah pernah ketemu, dan sebagian yang lain karena kekaguman mereka tak seheboh aku.

Tepat adzan maghrib Bunda tiba di rumah Mbak Wuri, melihat sosoknya di depan pagar rumah membuatku melayang, badanku sedikit bergetar, dan aku mencubit-cubit lenganku sendiri meyakinkan aku masih dalam keadaan sadar dan tidak bermimpi. Satu per satu kami semua bersalaman dengan beliau, ketika tiba saatku kubisikkan ke beliau, saya Ihdina Sabili bunda, ada sesuatu yang basah di pelupuk mataku, namun kuharap beliau tak mengetahuinya, kedengerannya sedikit berlebihan, tapi aku tak peduli, memang ini yang kurasakan. Senyum Bunda mengembang mendengarku mengenalkan diri, “Ooh, iya iya nak”, bahagianya aku seperti melayang ke angkasa.

Setelah menunaikan ibadah sholat maghrib, aku sedikitpun tak rela sedikit jauh dari beliau, aku berusaha selalu berada di samping beliau, mendengar semua perkataan beliau, nasihat-nasihat yang terselip di antaranya, dan tentu semangatnya yang begitu besar dalam bertahan hidup membuatku teringat akan sosok Ibuk yang telah dipanggil Sang Maha Kuasa, namun jiwanya senantiasa hidup dalam hatiku. Kuperhatikan lekuk wajah beliau, gerak gerik, tutur kata, perhatian, semakin seksama pandanganku, semakin lekat sosok Ibuk muncul dari diri beliau.

Malam itu menjadi malam paling indah dan bersejarah dalam roda hidupku, dari sekian malam-malam kebersamaan dengan para sahabat, malam itulah yang paling berharga. Namun amanah tetaplah amanah, tak mampu ditukar dengan hanya kesenangan dan kebutuhan pribadi, terlebih posisiku dalam memegang amanah ini sangat menentukan dan mempunyai peran yang sangat besar. maka dengan sangat berat, kuberanikan diri memohon diri pada Bunda, kusampaikan betapa berat diri ini melewatkan malam itu untuk tinggal bermalam dengan beliau, dan Bunda memahami itu, setelah buku-buku karya beliau telah selesai ditandatangani, kupersembahkan satu karya kami, lagi-lagi tentang Ibu, disitu terkupul 23 puisi dari perempuan-perempuan tangguh, diantaranya terselip satu namaku disana, dan kuharap dengan puisi ini, pesan cinta dan rinduku tersampaikan dan bertahan erat dalam dekapan Bunda.


Terimakasih Bunda, telah mengisi hidupku dan malam itu dengan sangat indah, penuh bunga, penuh warna, dan bahagia. Semoga dipertemukan lagi dengan situasi dan kondisi yang tak kalah bahagia dari pertemuan ini. Aku sayang Bunda PIPIET SENJA.



Komentar

Postingan Populer