Seperti Mimpi

Hari
ini tak ada yang lebih indah dari semua mimpi-mimpi indah sejak aku mengenal
dunia kepenulisan, hari ini tak ada yang lebih menyenangkan selain merayakan
sebuah peristiwa yang sudah lama kunanti dan kurindukan, dan hari ini pula aku
masih tak mempercayainya, semua masih seperti mimpi, yang tak tahu kapan aku
akan mengalaminya di dunia nyata.
Dan
hari ini memang nyata terjadi, sang idola yang kurindukan sejak aku masih
ingusan, sejak aku masih belum fasih membaca, sejak aku masih belum lihai
menulis, sejak aku masih belum mengenal dunia dan seisinya. Nama penanya PIPIET
SENJA, banyak dari sahabat dekat dan keluarga mempertanyakan kenapa aku
mengidolakannya, namun sebagaimana cinta sejati, aku tak mampu memberi alasan
yang masuk akal, karena aku sendiri pun tak pernah memahami apa yang
sesungguhnya kurasakan pada beliau. Yang ada dalam benakku, aku menyukainya,
menyukai tulisannya, model tulisannya, kisah yang tertutur dari goresan
tangannya, cara beliau dalam menorehkan kisah demi kisah, bahkan seakan aku
mampu meraba satu per satu rangkaian huruf beliau dalam menyusun cerita.
Bayangkan,
sejak kelas 3 SD, saat aku berada pada masa-masa paling ketagihan dalam
membaca, dan kebetulan pendidikan kedua orangtua di rumah yang melarang putra
putrinya menikmati sajian televisi, membuat kami sekeluarga mempunyai agenda
wajib ‘merampok’ isi toko buku pada tiap akhir pekan. Saat itu, Ibuk sengaja
membiarkan aku memilih buku apapun yang aku inginkan. Hingga suatu saat masih
di usiaku saat kelas 3 SD itu, aku mengambil buku karya PIPIET SENJA, entah
yang berjudul apa saja, karena ingatanku telah jauh tertumpuk puluhan buku
beliau lainnya yang masih setia duduk manis di rak bukuku di rumah.
Waktu
bergulir dengan cepat tanpa terasa, aku mulai mengenal dunia internet dan
segala kecanggihannya, kunikmati segala fitur yang membuatku mengenal beliau
sang idola, kuselami kehidupan maya yang begitu menggiurkan dan menjanjikan
berbagai kesenangan dan kebahagiaan yang terkadang semu. Namun tidak bagiku,
hingga akhirnya aku mendapatkan nomer ponselnya, saat itu bahagiaku tak
kepalang, bagaikan mendapat durian runtuh, aku yang masih remaja awal dan baru
saja dipercayakan boleh memegang ponsel sendiri akhirnya memberanikan diri
menghubungi beliau, setelah sebelumnya telah memberanikan diri menyapa diri
melalui beberapa akun sosial media beliau di dunia maya. Menit
demi menit berlalu, hingga masuklah sebuah pesan baru, dari nomer yang hampir
aku hafalkan di luar kepala, dan jawaban yang telah lama aku nantikan itu,
meski terkesan sedikit cuek, namun bagiku bagaikan aliran air segar yang begitu
segar dan mengobati dahagaku di gurun sahara.
Sejak
saat itu komunikasi kami cukup lancar, dan hari-hariku pun berjalan seperti
biasa, angka usiaku makin bertambah dan kedewesaanku semakin terpupuk. Namun
satu keinginan kecil dalam lubuk hatiku tak mampu kusembunyikan letupannya,
tiada lain ialah bermimpi bertemu beliau, entah kapanpun, dimanapun, dan
bagaimanapun.
Tahun
2014, amanahku bertambah, namun tak merubah sedikitpun keinginan masa kecilku,
isi buku di lemariku semakin banyak, dengan nama penulis yang sudah beragam,
aku mulai melebarkan wawasan untuk membaca karya-karya penulis-penulis terkenal
lainnya, kupelajari semua cara menulisnya, dan kuhayati bagaimana jenis karya
mereka, dan ini semua takkan membunuh rasa kagum, sayang, dan cintaku pada
Bunda PIPIET SENJA.

Sore
itu, tanggal 27 September 2014, aku sudah meminta izin pada anggotaku di
lembaga pers mahasiswa untuk meninggalkan sejenak UKM Expo yang kebetulan juga
diadakan pada hari itu dan keesokan harinya, setelah menemui Pakde Bude yang
menghadiri wisuda Mbak Liha di Jatim Expo pada siang harinya, aku bersama Saroh
langsung meluncur ke rumah Mbak Wuri, dalam perjalanan kami diuji dengan motor
Saroh yang sedikit bermasalah pada jerujinya. Dengan hati-hati kami mencari
alamat rumah Mbak Wuri yang baru hingga akhirnya sampai tanpa tersesat. Tepat
pukul 16.00 kami sampai namun ternyata belum ada tanda-tanda kehadiran Bunda
disana. Perasaanku sudah tak karuan, seperti akan bertemu kekasih saja, bahkan
ketika akan ketemu lelaki yang kucintai pun aku tak merasa setegang ini J
Rupanya
Bunda dan teman-teman dari Banyuanyar, Pamekasan yang mengantarnya mengalami
sedikit kebingungan dalam mencari rute menuju rumah Mbak Wuri. Dua jam berlalu,
hingga Mbak Sinta dan keluarga sudah datang, Bunda masih belum juga datang,
rumah Mbak Wuri mulai ramai dengan kehadiran teman-teman yang sama-sama menanti
Bunda, tapi perasaanku jauh lebih tegang daripada raut muka mereka semua. Ada
yang karena sebagian memang sudah pernah ketemu, dan sebagian yang lain karena
kekaguman mereka tak seheboh aku.

Setelah
menunaikan ibadah sholat maghrib, aku sedikitpun tak rela sedikit jauh dari
beliau, aku berusaha selalu berada di samping beliau, mendengar semua perkataan
beliau, nasihat-nasihat yang terselip di antaranya, dan tentu semangatnya yang
begitu besar dalam bertahan hidup membuatku teringat akan sosok Ibuk yang telah
dipanggil Sang Maha Kuasa, namun jiwanya senantiasa hidup dalam hatiku.
Kuperhatikan lekuk wajah beliau, gerak gerik, tutur kata, perhatian, semakin
seksama pandanganku, semakin lekat sosok Ibuk muncul dari diri beliau.

Terimakasih
Bunda, telah mengisi hidupku dan malam itu dengan sangat indah, penuh bunga,
penuh warna, dan bahagia. Semoga dipertemukan lagi dengan situasi dan kondisi
yang tak kalah bahagia dari pertemuan ini. Aku sayang Bunda PIPIET SENJA.
Komentar
Posting Komentar