M(Ah)asiswa ?
Masih
terngiang dengung janji kesetiaan, masih tersirat jelas jerit teriak
perjuangan, masih melambai perlahan udara saksi tekad pengorbanan, masih
terserak debu kering tertiup nafas pengabdian.
Di
jantung sana terhampar sekian jiwa muda, menggelorakan semangat juang di
seluruh penjuru kota, membisikkan untaian permata pemanis janji, menguraikan
seluruh aksi sebagai bukti cinta suci, kata mereka.
Namun
jauh di sudut terpencil, berjuta perut buncit menahan perih meradang lapar,
beribu kulit keriput mengusut airmata mengering, ratusan bibir kelu kehabisan
air liur lantaran tiap waktu tak henti menetes menanti sebutir padi matang.
Kemana
semua hati mereka yang berkoar di depan massa, kemana semua bukti dari janji
suci yang begitu mereka banggakan, kemana mereka alihkan seluruh pundi-pundi
Negara yang dulu dikumandangkan untuk rakyat, kemana larinya lembaran ajaib
berharga mereka buang.
Alihnya
untuk kebaikan bangsa, kemakmuran rakyat, perkembangan Negara, namun kemana
nyatanya, berhambur-hamburan rupiah mereka telan untuk berbagai kepentingan
yang berkedok organisasi, urusan yang bertabir kepentingan mahasiswa, dan misi
penting bertopeng rakyat.
Beberapa
dari mereka masih mampu berhati jernih, mampu mengalokasikan berbagai dana dengan
kepentingan semestinya, namun masih banyak dari mereka sedikit lengah, tak
begitu menyadari, atau mungkin khilaf dalam menata hati, meluruskan niat,
ataupun membenarkan tujuan sebenarnya mengenai penggunaan sekian banyak lembar
berharga tersebut.
Jika
semua memandang dengan hati, mendengar dengan jiwa, meraba dengan perasaan
terhalus, takkan ada lagi tangis ronta kelaparan, jerit isak kemiskinan,
ataupun peluh deras kepiluan.
Didepan
banyak orang ia kobarkan semangat kepahlawanan, ia teriakkan suara lantang
wakil rakyat, penyambung lidah masyarakat, penyalur aspirasi warga. Namun apa
yang dilahapnya di belakang? Berfoya-foya menghabiskan uang Negara,
berleha-leha menikmati fasilitas umum sekenanya, terlena dengan kemakmuran yang
dilahirkan dari peluh keringat dan airmata rakyat jelata.
Ah,
semua ini memang bukanlah pemandangan tak sedap di mata, semua ini tak layak
menjadi isapan jempol semata, semua ini bukan sekedar fenomena.
Sayangnya ini sudah menjadi hal termaklumkan di kacamata banyak orang, sudah
menjadi lauk biasa oleh penguasa, sudah menjadi santapan wajib oleh mereka para
pemuda yang berlabel mahasiswa.
Meradang
pilu batin ini memandang keadaan ini, mereka berteriak turun ke jalan,
ramai-ramai teriakkan keadilan, mereka bersama-sama menyalahkan berbagai pihak
dengan andil membela rakyat, mereka membangun pasukan demi berkorban untuk
Negara, namun isi laporan mereka rekayasa, namun saat rapat hanya berbekal
anggukan kepala, namun ketika berkumpul didominasi tertawa dan bercanda.
Sudahlah
kawan, kita semua sama, kita semua juga masyarakat, kita lahir dari rahim
rakyat, kita semua hidup di tengah kepiluan bangsa, kiranya terbukalah kelopak
mata, dengan segenggam amanah kedua bahu, juga tekad juang di kepal tangan,
alangkah mulia jejak kedua langkah, jika mampu menorehkan sejarah indah, di
tanah air ibu pertiwi tercinta.
Komentar
Posting Komentar