Me and My Lovely Parents



BIS NOMOR 23
Siang ini bumi Indonesia terasa lebih romantis saat sepasang mataku memandangnya pada atlas dunia yang kini tengah kugenggam tuk mewakili rinduku pada ibu pertiwi. Apa kabar negeriku tercinta? Masih hijaukah sawah ladangmu? Masih birukah lautan dan langitmu? Masih merahkah darah dan semangat para sahabat dan handai taulanku di bumimu? Masih putihkah hati dan tujuan murni mereka tuk engkau negeriku? Dan sejuta pertanyaan tak terjawab itu semakin berkeliaran dalam lintas otakku saat anganku makin memikirkan tanah air tercinta.
Di tengah-tengah lamunan bawah sadarnya, tiba-tiba terdengar suara dari kamar putriku satu-satunya,
“ibu…” rupanya dina telah terjaga dari pulas tidur siangnya.
“iya sayang, gimana tidur siangnya? Pulas sekali nak, mimpi apa tadi coba?” tanyaku pada permata hatiku yang selalu menemaniku kemanapun aku pergi.
“tadi dina mimpi bertemu eyang bu, eyang memberi sekotak jajan yang sangaaaat besar, dina jadi kangen eyang bu, dina ingin bertemu eyang” dina menjelaskan dengan penuh semangat.
“wah, dina sama seperti ibu ya… ibu juga kangeeeen banget sama eyang, ibu juga ingin bertemu eyang, tapi dekat-dekat ini kita belum bisa bertemu eyang nak, bagaimana kalau kita telpon eyang?” kutatap wajah putriku dengan berseri-seri. Dina mengangguk-angguk pertanda sangat setuju atas ajakanku.
Segera kuraih telpon genggam milik suamiku yang tergelatak di atas meja samping kursi tempatku duduk saat ini, dan kutekan angka-angka telpon rumah ibu, lalu aku menanti suara ibu menyahut dengan berdebar-debar, kemudian
“Assalamu’alaikum, ibu…” sambungan telpon telah tersambung.
“wa’alaikumsalam, iya nak? Alhamdulillah, baru saja ibu teringat kamu, ibu kangen dina, bagaimana kabar dina? Kalian sehat-sehat kan nak?” ibu segera memberondongku dengan beberapa pertanyaan sekaligus, dan aku tersenyum sangat senang, hamper menetes air mata ini karena rindu yang tak terbendung, tapi aku tak boleh menangis di hadapan putriku, aku harus tegar.
“Alhamdulillah santi, mas adit juga dina sehat-sehat semua bu, dina katanya juga kangen banget sama ibu lho, sampai terbawa mimpi dalam tidurnya siang ini katanya tadi bu, ini dina bu, supaya dia bicara sendiri sama eyangnya, eh iya, ibu sehat-sehat juga kan?”
“Alhamdulillah ibu juga sehat kok, ini arini sama suaminya lagi di rumah, menemani ibu, mana dina? Mana? Ibu sudah rindu suaranya?” ibu seakan lupa padaku jika sudah rindu pada cucu tersayangnya, dan aku memakluminya.
Segera keberikan telpon genggam ini pada dina, yang telah menanti sedari tadi,
“Assalamu’alaikum eyang, dina tadi baru saja mimpi eyang lho, dina mimpi eyang memberi dina sekotak jajan yang sangaaat besar…” cerita dina dengan penuh semangat.
“wa’alaikumsalam sayang, wah, eyang juga kangeeen banget sama dina, dina mau dikirimi jajan eyang?” ibu terdengar sangat bahagia dari suaranya yang sangat berbinar-binar.
“mau eyang, mau bangeeet…” anak kecil mana yang tak suka dengan hadiah jajan, termasuk buah hatiku, ihdina latifah.
“oke sayang, nanti eyang minta tolong tante arini mengantar jajan yang sangat besar ke pak pos yaa, supaya cepat-cepat dikirim ke dina, oke sayang?” seorang nenek tak pernah peritungan jika sudah masuk masalah membahagiakan cucu-cucunya.
Aku yang mengintip dengar pembicaraan mereka segera membisikkan ke telinga bidadariku, “bilang apa ke nenek sayangku?”
Dengan sangat tanggap, dina sudah mengerti apa yang kumaksudkan,
“eyang, terimakasih yaa…” lalu ia segera menyerahkan kembali telpon genggam padaku.
“iya nak, sama-sama, ibumu mana nak?”
“iya bu, ini santi, maafkan dina bu, jadi merepotkan ibu dik arini,”
“sudahlah nak, tak apa, ibu malah sangat rindu kalian dan ingin mengirim kalian beberapa kue-kue dan foto-foto keluarga disini, tapi ibu belum sempat juga sampai sekarang, suamimu masih kuliah?”
“terimakasih banyak bu, iya, mas adit masih kuliah, nanti akan santi sampaikan salam rindu ibu pada mas adit, insya allah”
“ya sudah nak, ibu sudah sangat senang dan lega mendengar kabar kalian baik-baik saja, sudah dulu ya, nanti kamu bayarnya mahal lho,” ibu akan menyudahi percakapan kita.
“iya bu… salam buat dik arini dan dik agung ya bu, assalamu’alaikum” dengan berat hati kututup komunikasiku dengan ibu siang itu.
“iya, hati-hati disana ya nak, wa’alaikumsalam” rinduku sedikit terbayar oleh suara merdu ibu di siang itu.
***
            Lima bulan sudah kulewati kehidupan di negeri ratu Elizabeth ini, bersama suami dan putri tunggalku, kulalui hari-hariku penuh warna, mulai dari adaptasi dengan para tetangga baru dari beragam bangsa dan negara se-dunia, mendampingi dina adaptasi dengan dunia barunya di sekolah yang juga membutuhkan perhatian lebih, disamping pesan sang suami untuk selalu menjaga dina dengan pakaian tertutup serta hijab yang tak boleh tanggal semenitpun, juga karena dina masih sangat dini untuk menerima lingkungan baru yang benar-benar berbeda dengan yang telah dikenalnya dahulu di tanah air. Belum lagi ketika rinduku pada ibu, ayah, dan keluarga besarku di sudut kota di jawa timur itu kembali menggelitik, betapa malam-malamku bersimbahkan air mata kerinduan, tapi betapapun aku harus tegar, dalam mendampingi mas adit yang tengah menempuh jenjang pendidikan S2 di Leicester University, sosok yang paling kuhormati dan kucintai saat ini terlihat sangatlah letih tiap harinya, dia harus menyesuaikan antara kepenatan menjalani kuliah di tempat asing dengan lingkungan baru yang menantang juga tetap tegar menjadi kepala keluarga yang benar-benar bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarga kecilnya ini, betapa mas adit yang dahulu terlihat sangat sehat, segar bugar, kini menjadi kurus kering karena sejuta beban yang hinggap di bahu ringkihnya itu. Aku sebagai istri yang sangat mencintainya harus mendampinginya, mendukung semua langkah baiknya, menemaninya saat ia mati-matian memperjuangkan kelangsungan hidupnya di negeri orang ini.
            Mas adit benar-benar sosok yang sempurna di mataku, sebagai suami dia tak pernah mengeluh padaku terlebih didepan dina, dari hal ini aku mendapatkan pelajaran sangat berharga, bahwa hidup ini perjuangan dan intinya adalah sabar, maka apapun kendala yang kita temui di dalamnya, pasti akan ada jalan keluarnya, aku sangat salut padanya, sekalut apapun suasana hatinya, tak pernah sekalipun ia lontarkan emosi padaku, selain karena besarnya kasih sayangnya padaku sangatlah tulus, juga mas adit memang karakter yang sangat sempurna sebagai sahabat, kakak, guru, orangtua, dan yang terpenting adalah suami.
            Dina, putri kami satu-satunya saat ini, sedikit banyak telah mewakili sifat ayahnya, ia anak kecil yang berjiwa social tinggi, mudah beradaptasi, dan berkepribadian luhur, itu semua hasil dari mas adit dalam mendidiknya yang tentunya juga atas campur tanganku sebagai orang pertama yang paling dekat dengan dina, tapi yang sampai saat ini mengganjal di hatiku ialah kedekatan dina dengan ayahnya, mas adit yang penuh wibawa dalam bersikap membuat dina sedikit segan untuk mendekat pada sosok ayahnya itu, tapi bagaimanapun aku tak ingin jarak itu menjadi jurang yang curam, dan ini menjadi tugas terberatku, saat dina ingin bermanja-manjaan dengan ayahnya, tapi di sisi lain ayahnya yang sangat sibuk bukan main menjadikan waktunya bersama kami sedikit tersita, tapi aku harus memakluminya, karena ini semua juga demi aku, dina dan kita terutama dalam menjalani bahtera kehidupan di negeri orang ini. Keseganan dina pada ayahnya berkembang menjadi takut, kemudian merenggangkan hubungan diantara keduanya. Meski seringkali kulihat raut muka kecewa pada wajah tampan mas adit saat berusaha mendekati dina, tapi ia tak pernah putus asa dan mengeluh padaku akan hal ini, sehingga suatu malam aku harus menjelaskannya pada dina, apa yang sampai saat ini menjadi ganjalan di hati ayahnya,
“dina sayang, gimana tadi sekolahnya?” sembari kubelai rambut gelombangnya yang hitam pekat itu.
“tadi dina sebel banget sama syakur, temen dina yang item, kribo ituloh bu, dia usil banget, masa’ jilbab dina ditarik-tarik sampai hamper lepas, dina hamper saja menangis, untung ada Mrs. Gossage yang langsung marahi syakur, akhirnya dina nggak jadi nangis deh, hehe…” cerita dina segera mengalir begitu mulusnya.
“Alhamdulillah, anak ibu pintar sekali, mampu menahan amarah dan tangisnya, ibu ada hadiah indah buat dina!”
“asiiikk… apa itu bu?” wajah dina berseri-seri mendengar pernyataanku.
“mmmuuuaahhh,,, ini hadiah dari ibu yang paling istimewa untuk bidadari ibu yang paling jelita” kukecup keningnya penuh cinta dan kasih sayang.
“aahh,,, ibu, ini kan tiap malam pasti ibu beri…” dina menyangkal.
“ohh gitu, terus sekarang dina minta hadiah apa dong sayanag?” tawarku padanya.
“dina ingin paket kiriman jajan dari eyang segra datang!” jerit dina spontan.
“oke, ibu siap! Besok ibu akan ambilkan kiriman itu, tapi ibu mau tanya, besok kalau jajannya sudah datang, ibu dan ayah boleh ikut makan apa tidak sayang?” tanyaku sambil memasang wajah melas.
“pastinya bu…, ibu dan ayah pasti dapat, tapi ayah kok jarang pulang ya bu, dina kan kangen sama ayah, dina kangen didongengin ayah, dina kangen diajari ayah naik sepeda, dina kangen ditemenin ayah belajar, dina kangen ikut ayah belanja,” wajah dina perlahan memurung dan semakin bersedih.
Dalam hati aku berteriak gembira karena telah kutemukan jawaban dari gundahku akhir-akhir ini, lalu kujawab kerinduan dina,
“sayang, ayah itu sangat sibuk, tiap pagi harus ngantar ibu dan dina ke sekolah dina, trus ayah harus belajar, tujuan kita kesini kan untuk nemenin ayah belajar, jadi pasti ayah juga akan nemenin dina belajar, hanya saja, untuk saat ini tugas ayah sedang banyaak banget, hemm,,, gimana kalau sabtu besok kita ke pasar bareng-bareng, kan ayah libur, dina juga libur, dina mau kan belanja bareng ayah?” tanyaku penuh semangat.
“ayuuuukk buu,,,, dina mau bangeett, dina kasih tau ayah dulu ya bu…” teriak putri kecilku secepatnya berlari menghampiri ayahnya yang sedang menikmati secangkir kopi di ruang tengah sembari menonton TV.
“ayaaahh…!!” teriaknya keras sekali mengejutkan sosok yang dipanggilnya.
“iya dina, ada apa sayang?” ditariknya tubuh dina dalam pangkuannya.
“ayah, kata ibu besok sabtu kita belanja bareng ke pasar, ayah mau kan, ayah hari sabtu libur kan yah?” cecar dina tanpa nafas.
Mas adit terkejut dengan keputusan buah hatinya yang mendadak tapi juga sangat menggembirakan itu, kuhampiri dua sosok manusia yang sangat kucintai itu, kukerlingkan sebelah mataku sambil mengangguk pelan saat mas adit menatapku dengan senyuman termanisnya, kemudian ia menjawab putri cantiknya,
“oke sayang, let’s go, ayah mau dong, kita berangkat jam berapa ya? Oh ya, ayah dengar ada yang mau dapat paket nih dari eyang, siapa yaa?” goda mas adit penuh gelak tawa.
“dina yaah,, tapi jajannya nanti kita makan bareng-bareng ya yah, ayah, ibu, sama dina, besok kita ambil ya yah…” semangat dina kembali terpacu.
“iya sayang, siap!” kulihat mas adit kembali hidup yang sangat hidup.
“oke, sekarang sudah malam, kita istirahat yuk, ayah sudah capek, dina bobo bareng ayah dan ibu ya nak” ujarku menghentikan pembicaraan mereka mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 9 PM.
            Malam ini aku tertidur dengan sangat tenang karena permasalahan yang akhir-akhir ini mengusikku telah terurai sudah benang merahnya, mas adit dan dina sudah kembali pada hubungan yang hangat seperti sediakala, dina sudah bisa menerima sosok ayahnya yang kesibukannya kini berlipat ganda dan mas adit pun telah memahami keadaan dina yang membutuhkan sosok hangatnya.
***
            Sepulang sekolah, dina merengek-rengek segera mengajak mengambil paket kiriman, dan aku harus menjelaskan padanya bahwasanya kiriman itu akan langsung diantarkan ke alamat masing-masing sebagaimana kita kirim-mengirim di Indonesia, aku belum sempat menjelaskan pada dina tadi pagi karena aku juga baru mengerti saat diberitahu orangtua teman dina di sekolah baru saja yang asalnya dari Malaysia. Betapa senang hati ini seakan bertemu teman lama saat menemukan kenalan sekaligus sahabat dari negeri tetangga, beruntunglah aku segera mengenalnya dengan baik, kebetulan putranya juga sekelas dengan dina, hanya saja kami baru ditakdirkan untuk berjumpa di hari ini.
            Setelah kujelaskan panjang lebar tentang teknik pengiriman barang disini, barulah dina berhenti merengek, dan kita kembali pulang ke apartemen. Seusai melahap makan siang ala kadarnya yang kuracik sendiri, dina sangat gelisah menanti dengan penuh harap di pinggir pintu depan apartemen, ia benar-benar menanti kehadiran kiriman dari eyangnya itu.
            Melihat keadaan dina demikian membuatku terbawa resah tapi aku segera menghampirinya dan meyakinkannya, bahwa paket kiriman dari eyangnya sebentar lagi juga datang, tanpa perlu ditunggu di pinggir pintu seperti itu,
“sudahlah bu, dina memang sudah tak sabar menanti kiriman dari eyang…” rengek dina.
“eits, anak ibu tidak boleh tidak sabar, dina harus sabar, makanya kita ke kamar aja yuk, nanti kalau dina kesini malah menghalangi tetangga –tetangga separtemen yang mau lewat lo sayang, meskipun dari kamar pasti kita tahu kok kalau ada paket, oke sayang, ayuk,” bujukku sembari meraih jemarinya yang mungil-mungil itu.
“baiklah bu…” aku sedih melihat kebimbangan dina menanti kedatangan paket eyangnya.
            Dengan berbagai cara aku berusaha mengalihkan perhatiannya dari paket itu, kubacakan padanya buku-buku dongeng yang sempat kami bawa dari tanah air, juga beberapa buku cerita anak yang dibeli mas adit beberapa minggu lalu di pameran buku di kampusnya, juga kuceritakan beberapa kejadian lucu di sekitar apartemennya tentang para tetangga barunya, dan ternyata usahaku tak sia-sia, karena tak lama kemudian dina tertidur sangat pulas.
            Sore harinya tepat dina terbangun, ayahnya datang, kemudian beberapa menit kemudian terdengar bel alarm dari gerbang apartemen memanggil-manggil nama ‘Aditya Maulana’ segera mas adit berlari menuju pintu gerbang disusul sang putri menyambut paket yang telah dinantikannya sejak tadi.
            Dengan wajah berseri-seri sambil bersusah payah dina membopong kardus  besar itu menuju ruang tengah apartemen kami, kemudian mas adit segera menyuruh dina tuk membukanya sendiri,
“ ayuk sayang, dibuka…”
“tapi susah yah, ayah aja deh,” ucap dina tersenyum pada ayahnya.
“oke, kita buka bareng-bareng ya nak” mas adit segera membuka bungkusan itu perlahan-lahan.
            Sepuluh bungkus besar Wafer Tango berbagai macam rasa, sepuluh Indomie goreng, tiga bungkus bumbu pecel, tiga bungkus besar masakan kering tempe dimasak sendiri oleh racikan tangan ibu dan masakan-masakan kering khas Indonesia yang tahan lama yang kini menghiasi ruang tamu apartemen kami, dina terlihat paling bahagia diantara kami bertiga atas datangnya paket ini, dan aku segera menelfon ibu untuk mengabari bahwa kiriman beliau sudah mendarat dengan selamat di tangan kami.
***
            Pagi-pagi sekali dina sudah sangat cantik dengan tas kecil yang terselempang di bahunya, siap berlibur ke London untuk belanja berbagai kebutuhan rumah tangga, aku tersenyum melihatnya sangat bersemangat,
“nak, sudah siap?” sedangkan aku masih membereskan dapur kecil kami.
“sudah donk bu,,, tapi ayah masih mandi bu” dina tersenyum manis sekali.
“sabar ya sayang, ibu mau siap-siap dulu nih” sambil membereskan sebilik apartemen yang kami tinggali saat ini.
            Sepuluh menit kemudian kami sudah siap di pinggir halte bis untuk menanti bis dengan nomor 23 jurusan London Square, dari kejauhan sudah terlihat bis merah bertingkat itu mulai mengurangi lajunya dan akhirnya berhenti di hadapan kami, dan membawa kami ke jantung ibu kota negeri Elizabeth itu.
***
            Demikian sekelumit kisah saya ketika ikut merantau orang tua saya yang tengah menempuh studi S2-S3 di Leicester University selama lima tahun setengah tahun. Penuh perjuangan, berlinangan rindu juga ketegaran yang tiada tara saya rasakan tak terputus dari sosok kedua orangtua saya, sehingga saat pulang dari negeri Elizabeth itu, saya sudah mempunyai 2 adik cantik, dalam kisah ini saya sebagai dina kecil yang sangat berbahagia hidup di tengah-tengah keluarga kecil di sudut kota Leicester, UK.

Komentar

Postingan Populer