Metamorosis Kehidupan


            Ketika masa tak lagi mengenal jeda, lalu sekat tak jua berfungsi sempurna, sesaat bagai sejuta masa, semua yang terpampang bagai sandiwara tak berpurna, segenggam mimpi menggumpal asa, namun jiwa terjerat batas realita, bisikan lembut di rongga dada, menjelma nafas mencekik nyawa. Dahulu ia tertawa penuh suka cita, dada membusung penuh percaya diri, angkara murka meliputi jiwa raga, nafsu menguasai segala yang ada, tak peduli menembus logika dan akal sehat, hanya foya-foya membuatnya terlena akan hasrat dunia. Kini masa itu telah hilang ditelan kenang, tak ada lagi jerit bahagia dan riang senantiasa, senyum simpul menjelma murung cemberut, derai tawa berubah tetesan airmata, bahkan dada yang membusung penuh angkara beringsut menyudut berkeriput.

            Jeritan alam membahana, namun sedikitpun tak ia hiraukan, ringkihan kakek tua di tepi jalan hanya terlewat sebagai gangguan, bahkan rintihan bunda menahan rentanya usia sama sekali tak masuk daftar lirikannya. Menjadi anak durhaka sangatlah dibencinya, dijuluki bocah bengal sama sekali bukan mimpinya, tak berteman bukanlah keinginannya, namun sedikitpun tak ada keinginan dalam hatinya, terlebih tekad yang membaja, untuk merubah dirinya, memperbaiki tingkah lakunya, menghiasi jiwanya dengan mutiara, kini hanya sesal yang ia terima, airmata temani siang malamnya, dan keterpurukan menjadi sahabat sejatinya.

            Di ujung lorong gelap ia melolong, menahan jerit menyeramkan nan mematikan, ia remas relung dadanya, ia robek muka indahnya, ia banting jiwanya berdebum amat keras, hingga memekakkan telinga, ia cerai beraikan urat nadinya hingga tak mampu disatukan lagi, ia penggal seluruh mimpi indahnya, ia pecahkan memori otaknya, pada keremangan malam ia adukan seluruh keluh, pada gemintang yang sibuk merias diri ia paparkan semua resah, pada jalanan lengang tak berujung ia hamparkan segenap gelisah, hingga sekian detik berlalu, datanglah sepercik sinar memancar, menyorot ruang tanpa batas, meretas cahaya menyaring debu, menyilaukan pandang mencecar bayangan.

            Bukankah ia telah mengerti, bahwa bumi ini tak rata, sehingga jatuh itu bukan hal yang luar biasa, tidakkah ia memahami, bahwa langit tak selamanya terbentang, maka terjepit tidaklah hal yang perlu ditakuti, bukankah ia telah mempelajari, bahwa bintang juga lelah mengerlip, sehingga pada gelap juga harus terbiasa, tidakkah ia mengetahui, bahwa pada waktunya nanti angin akan mendadak marah, maka pontang-panting itu juga akan ia kenali, tidakkah ia mengerti, bahwa tak senantiasa air setia membasahi, sehingga pada kering juga ia harus bertegur sapa, dunia ini juga mengenal seni, terkadang ia ingin kesana, suatu saat juga menghendaki kesini.

            Kenalilah apa yang terasa, sentuhlah apa yang terkarsa, disana ada suka ada cita, disana ada duka ada lara, sesaat rasa yang tercipta, mungkin bukan untuk segera diusnahkan, namun sederet peristiwa yang terpapar, cukup memberikan sebuah tanda, menafsirkan sebutir makna, hidup ini bagai lengkung fatamorgana, tak selamanya hanya fana namun sempurna, kemudian tinggallah ia meratapi nestapa, betapa hidup ini bukan sekedar sandiwara tanpa sutradara.

            Dari tanah ia terbentuk, dari ruh ia bernyawa, dari setetes tirta ia hapus dahaga, dari semilir angin ia enyahkan penat, dari sebutir debu ia menyimpan titik dan pada sehelai daun ia hempaskan angin untuk meniupnya. Kini bukalah mata, hati juga kepala, lapangkanlah dada juga rasa, terimalah sejumput nasi ataupn sebukit roti. Ia yang tengah menekuk lutut meratap saat, atau menopang dagu menyesalkan masa kini beranjak menata langkah mengatur jarak, menata baris mengatur sekat dan mengurai mimpi merajut asa. Di bawah siraman kelam malam, bertabur nyala bintang bertebaran, berteman pesona cahaya purnama, ia mulai melukis senyum, menyusun tawa dan menyulam suka dalam pesona bahagia.

            Telah tiba masanya, daun merindu tanah basah untuk segera menciumnya, lalu debu memeluknya penuh kasih, sesaat angin meniup penuh cemburu, namun kekuatan rindu mengalahkan segala yang ada, hanya pada kehangatan tanah daun mencinta, ia limpahruahkan berbukit cinta penuh renjana, pada basahnya ia pasrahkan raga lemahnya, pada harumnya ia kerahkan sejuta mesra, hingga ia merasa bak raja istana, hingga semuanya datang sendiri tanpa ia minta, kenyamanan, kebahagiaan, ketenangan, keindahan cinta, kekuatan rindu dan kehebatan kasih sayang telah membuatnya merasa begitu sempurna.

Komentar

Postingan Populer