Antara aku, kau dan dia
Buatku saat ini literature dan arsitektur tak bisa
dipisahkan, keduanya sama-sama mempunyai prioritas tinggi dalam hati juga
hidupku, perlahan aku semakin mencintainya hingga keduanya melekat erat dalam
lubuk hati terdalamku, jika dalam dunia literartur aku menjadi penulis maka
dalam dunia arsitektur aku menjadi arsiteknya, jika dalam dunia literature
kegiatan tercintaku itu menulis, maka dalam dunia arsitektur kegiatanku itu
merancang, begitu pula dengan orang-orang yang nantinya aku punya kaitan khusus
dengan mereka dalam dua disiplin ilmu ini, dalam arsitektur aku menghadapi
mereka yang menjadi pembaca, maka dalam arsitektur aku akan menemui mereka yang
berstatus klien, dengan prosedur yang sama aku menghadapi mereka, kini
tinggallah aku harus membagi waktu dan hati untuk keduanya, supaya tak terjadi
kecemburuan social atau kecenderungan prioritas diantara keduanya, tapi maaf
jika aku boleh membuat rating pada keduanya, jujur aku harus menaruh nama
literature pada urutan nomor satu, karena dia telah kukenal sejak aku belum
mengerti apa-apa, ia yang membuatku hidup dengan ribuan bahkan jutaan tulisan,
ia yang mengenalkanku dengan dunia ini serta seisinya, ia yang menghiburku
ketika aku dilanda kesedihan lantaran kesepian, ia pula yang mengisi hari-hari
membosankan dalam hidupku, betapapun aku tak akan ingkari bahwa ialah cinta
pertamaku, bahkan sebelum aku mencintai matematika sebagai pelajaran favoritku,
ia telah menjejali cintanya dengan bertumpuk-tumpuk buku bacaan yang beraneka
ragam jenisnya.
Jika kini aku membahas tentang arsitektur, jujur aku belum
bisa mencintainya sungguh sesungguh aku mencintai dunia literature, dengan
segudang alasan aku akan kemukakan kenapa aku belum bisa tulus mencintainya,
pertama karena aku sedari kecil tidak seberapa suka menggambar, karena memang
tak ada bakat menurun apalagi bakat dari lahir, entah setiap tanganku menggores
diatas buku gambar selalu hasilnya begitu-begitu saja (biasa.red) bahkan lebih
cenderung buruk, karena memang aku sama sekali tidak punya cinta disana, kedua
aku menekuni disiplin ilmu ini lantaran direkomendasikan oleh orangtuaku
setelah beliau membanting hatiku dengan mengatakan bahwa sastra itu masa
depannya tidak jelas ketika pemilihan jurusan masuk perguruan tinggi dulu, ia
kuanggap telah menjadi orang ketiga yang berusaha menyusup pada hubunganku
dengan literature, merusak kemesraanku dengan literature, dan juga berusaha
menarik perhatianku sekuat tenaga berharap supaya aku berpaling hati padanya,
jujur waktu itu, aku hampir sangat muak denganmu.
Namun karena hidup ini harus terus berlanjut, sebagai bukti
baktiku pada orangtua, kujalani dengan hati sedikit terpaksa hari-hari penuh
luka di perkuliahan dengan disiplin ilmu arsitektur, setiap pagi kulangkahkan
hati dengan sangat berat demi mendengarkan keterangan-keterangan membosankan
dan tugas-tugas mematikan dari para dosen. Aku selalu ingat petuah salah satu
guruku yang sangat mengerti kondisiku saat itu, beliau berkata, “jika anak yang
suka menggambar masuk arsitektur itu sudah biasa, jadi kalau kamu masuk
arsitektur dan kamu belum bisa mendapat hasil yang memukau, itu wajar, karena
memang kamu tidak begitu suka menggambar, tapi kalau kelak kamu bisa
membuktikan bahwa kamu mampu menempuhnya, maka kamu sungguh luar biasa” kalimat
ini seakan menjadi suntikan terhebat untuk hidupku saat itu, namun aku masih
merasa kalut tiap kali hari senin datang menyambut, karena di hari itu tertulis
nama mata kuliah yang aku sangat antipati padanya, lantaran di dalamnya hanya
berisikan menggambar dengan tangan, yang aku syukuri untungnya mata kuliah itu
hanya ada dalam semester awal.
Hari demi hari membosankan itu telah habis terlewatkan dan
tibalah masa evaluasi, aku pun masih sangat enggan mengikuti semuanya, dan saat
keluar hasil belajarku selama enam bulan aku hanya dapat tersenyum dan berkata,
“Alhamdulillah, setidaknya ini juga takkan merubah hati orangtuaku untuk
menyetujui aku mengambil disiplin ilmu literature” nilai yang kudapat memang
tak terlalu istimewa, namun juga tak bisa dikatakan kurang baik, untuk semester
dua ini, satu-satunya yang membuat hari-hariku masih berarti itu juga hari
senin, hari itu aku menempuh mata kuliah bahasa Indonesia, mata kuliah yang
masih ada sangkut pautnya dengan cinta pertamaku. Ketiadaan mata kuliah
menggambar dengan tangan itu sedikit menghibur nestapaku akan kelemahan
kemampuanku dalam menggerakkan pensil sehingga menghasilkan goresan-goresan
sketsa yang buruk. Di semester ini aku mendapat mata kuliah pengantar
arsitektur, setiap aku mendengarkan penjelasan dosennya dengan seksama, seperti
aku mendengarkan sales yang mati-matian mengumbar promosi demi sukses
terjualnya dagangannya, beliau selalu
menceritakan tentang kisah-kisah para arsitek terkenal, beliau menceritakan apa
itu hakikat arsitektur, dan dunia yang kelak akan kita hadapi jika kita telah
bergelar sarjana arsitektur, aku yang sedari dulu tak pernah absen dari bangku
pertama baik saat sekolah maupun kuliah pun perlahan-lahan mulai termakan oleh
bualan-bualan dosen yang seperti sales itu.
Kini rupanya ia mulai berhasil mencuri hatiku, ia,
arsitektur, selalu hadir di hadapanku dengan muka manis senyum menawan dan
rayuan menggoda, seakan mengerti hatiku yang sedkit demi sedikit mulai terpikat
dengan pesonanya, rupanya hal ini membawa efek sangat besar pada kelancaran kuliahku,
aku tak perlu sangat susah payah dan jungkir balik dalam menelurkan sebuah ide
perancangan, bahkan teman-teman terdekatku pun mampu menilai, bahwasanya
tingkat perancanganku sudah sangat meningkat, mendengarnya aku hanya tersenyum
tersipu seperti perawan yang tengah digoda kawannya lantaran sedang dipingit
orangtuanya untuk segera dinikahkan. Aku tak terlalu mengambil pusing kata-kata
merekam setidaknya sekarang aku mulai menjalani hidup sebagai diriku sendiri,
perlahan topengku mengelupas, meski terkadang saat mengulitinya terasa sedikit
perih dan terluka, mengingat cinta pertamaku menatapku cemburu. Aku tak mau
cinta pertamaku terluka menahan lara karena melihatku mulai jatuh cinta pada yang
lain, maka untuk membayar cemburunya aku harus rajin mengisi buku-buku kecil
yang masih putih bersih terjajar di lemari bukuku, aku tak boleh melewatkan waktu
sehari semalamku tanpa menorehkan benih cinta pada tubuhnya, hingga habis satu
notes kecil dan satu bolpoint yang tertera tulisan drawing pen di punggungnya,
betapa aku bukan anak dan murid yang membangkang, ketika diperintahkan untuk
membeli peralatan menggambar, seperti drawing pen dan lain sebagainya aku pasti
membeli namun maaf dosenku, aku tak menggunakannya sebagai kegunaan aslinya,
aku memakainya sebagai menggores kata, bukan menmbentuk sketsa bentuk gambar.
Hingga tiba suatu hari saat aku mulai benar-benar
mancintainya dengan tulus, rupanya ketulusan cintaku ini diuji oleh Sang
Pemilik Cinta, karya tugas perancanganku yang pertama di semester ini menghilang
saat tiba waktunya penilaian, aku sedikit kalut dan bingung, namun aku yakin
dosenku akan mempercayaiku, toh beberapa hari yang lalu sudah diperintahkan
untuk mengumpulkan hasil jepretannya. Hari demi hari berlalu, karyaku belum
juga kujumpai batang hidungnya, maka segera kuputuskan untuk membuat lagi yang
serupa untuk segera dikumpulkan dan didapatkan nilainya. Namun saat aku
menunggu dosen mata kuliah lain di lorong ruang dosen itu, kedua bola mataku
terbelalak seakan hendak kelur dari kantongnya saat ia bersibobok dengan sebuah
karya yang aku sangat mengenalinya. Hal penting yang membuatku terperanjat
sedimikian rupa ialah nama yang tertera disana bukan lagi namaku, melainkan
nama orang lain yang juga teman seangkatanku, seketika sekujur tubuhku ambruk,
belulangku seakan rontok remuk redam, dan ragaku terbujur lemas tak berdaya.
Betapa memang cinta ini diuji, sesuai dengan saran teman-teman dekatku, aku
harus segera melaporkan ini pada dosen yang bersangkutan, namun saat itu aku
masih belum sanggup menggerakkan kaki dan berbicara banyak, jadi kuputuskan
untuk keesokan harinya aku segera melaporkannya, mengalami hal ini
mengingatkanku pada novel yang tak lama usai kukhatamkan, novel berjudul
“SKETSA” karya Ari Nur Utami, disana dikisahkan seorang arsitek wanita muda
yang mengalami hal serupa denganku saat itu tentunya dengan skala yang amat
besar, dalam perjalanan pulang dari kampus di hari itu, hati kecilku menggumam,
‘mungkin aku memang benar-benar dilatih untuk menjadi seorang arsitek’. Lalu
senyum simpul menghias bibirku.
Kembali pada cinta pertamaku, kukaitkan segala peristiwa
dalam hidupku dengannya, betapa sekuat apapun siapapun berusaha memisahkan aku
dengannya, maka takkan pernah berhasil, karena dalam sepanjang hidupku hanya
dengan menulis aku merasa hidup dan memperoleh ketenangan jiwa, aku teringat
akan opini bunda Pipiet Senja di suatu waktu, bahwa dalam dunia kepenulisan
akhir-akhir ini sedang marak kasus pencurian karya, ini berarti apa yang sedang
ramai di dunia cinta pertamaku itu juga sangat kerap terjadi pada dunia
arsitektur, saat aku membaca novel ‘SKETSA’ aku hanya sekedar mengetahui bahwa
di dunia perancangan ada hal-hal seperti itu yang harus menjadi kewaspadaan
lebih pada Sang Perancang, namun setelah aku mengalaminya sendiri kini aku
meyakini penuh dalam hati bahwa pencurian itu memang banyak sekali caranya.
Untuk mahasiswa bau kencur yang minatnya pada dunia arsitektur masih
terombang-ambing seperti aku, peristiwa yang kualami diatas sungguh bermakna
lain dibandingkan mereka-mereka mahasiswa semester atas yang sudah jelas sangat
mencintai arsitektur dan belum pernah mengalami hal seperti ini.
Komentar
Posting Komentar